Tapi akhir-akhir ini dia kadang terlihat termenung. Kepalanya mulai dipenuhi pertanyaan seperti, sudah sesuaikan apa yang aku peroleh selama ini dengan apa yang aku butuhkan, apakah semua kesibukanku selama ini bisa menentramkan jiwaku, atau apakah selama ini orang-orang disekitarku merasakan manfaat dari keberadaanku dan pertanyaan-pertanyaaa sejenis. Itu terjadi setelah dia membaca sebuah buku karangan seorang mahaguru di India tentang pencarian arti hidup.
Suatu sore yang cerah setelah aktivitas yang menguras konsentrasi di perusahaanya, dia kembali membaca beberapa paragraf dari buku itu. Mungkin karena kelelahan, dia pun tertidur pulas.
Hari menjelang malam ketika dia dibangunkan seseorang. Rakha bangun dengan wajah kusut. Dia paling tidak suka ada yang mengganggu jam tidurnya (mungkin karena hanya pada saat-saat itulah dia bisa menikmati kehidupannya.) Tapi dia tiba-tiba terkejut ketika melihat orang yang membangunkannya. Orang itu sangat mirip dirinya. Dia seperti sedang berhadapan dengan sebuah cermin.
“Si....siapa kau?!” tanya Rakha dengan mimik ketakutan.
“Tenanglah. Aku juga Rakha...” jawab orang di depannya itu dengan santai.
“Bagaimana bisa? Aku... aku...”
“Aku ini bagian dari dirimu. Aku pribadi yang mewakili sisi disiplin dan keuletan dirimu... Bangunlah. Kamu harus menghadiri sebuah acara makan malam penting...”
Rakha masih tak mengerti, tapi yang keluar dari mulutnya, “Makan malam penting?”
“Ya, itu yang dikatakan Rakha tadi. Dia sebentar lagi datang. Aku... keluar dulu sebentar.” Rakha yang lain tadi menghilang meninggalkan Rakha yang masih bengong. Rakha (Rakha yang lagi bengong maksudnya) beberapa kali mencubiti lengannya untuk membuktikan kalau dia tidak bermimpi. Dia benar-benar tidak bermimpi. Di tengah-tengah kekalutan pikirannya itu, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Orang lain yang lagi-lagi mirip dirinya masuk.
Rakha kembali terkejut, tapi kali ini dia tidak sekalut tadi.
“Siapa kamu?”
Rakha yang barusan masuk tersenyum dan menjawab, “Aku Responsibilitas, agresifitas dan intelejensia diri kamu. Aku datang untuk mengantarkan undangan makan malam ini,” katanya sambil meletakan sebuah undangan berpita emas di sisi ranjang Rakha.
“Aku... rasanya aku tidak ada janjian makan malam hari ini.”
“Memang tidak ada. Tapi kamu pasti akan berubah pikiran kalau aku bilang Mr. Chang juga hadir di acara makan malam itu. Aku berhasil mencari tahu semua skedulnya selama seminggu ini. Dan rasanya acara sebentar itu bisa jadi peluang kamu untuk menjajakinya. Sst, Mr. Chang sebenarnya lebih suka bicara bisnis di acara-acara nonformil seperti makan malam sebentar. Kamu bisa mengatur agar pertemuan kalian sebentar terjadi secara kebetulan saja. Iya kan?”
Rakha tercenung. Dia memang sudah lama mengincar Mr. Chang untuk jadi investor salah satu proyeknya. Dan sepertinya malam ini kesempatan bagus.
“Ayolah! Aku tahu ini yang kamu inginkan. Acaranya satu jam lagi loh. Tempatnya juga cukup jauh. Kamu tidak ingin terlambat ke acara itu kan?”
Rakha segera membuka sampul undangan itu, membacanya sebentar lalu bergegas ke kamar mandi. Dia masih kelihatan bingung, tapi acara ini memang tidak boleh dilewatkan.
Sekitar 20 menit kemudian, Rakha sudah di belakang stir Mercedes Benz-nya. Mobil berwaran biru gelap itu bergerak perlahan keluar dari garasi. Begitu mobil mendekati gerbang rumhanya, ada seorang, Rakha yang lain mengejar mobil dari belakang lalu masuk dan duduk di samping Rakha.
“Kamu pribadiku yang mana lagi? Kewaspadaan berlalu lintas? Ketaatan pada lampu merah? Atau salah satu dari dua pribadi tadi?” tanya Rakha ketus pada Rakha di sampingnya.
Rakha di sampingnya tersenyum sinis. “Aku pribadi keegoisannmu....,” katanya.
“Haah...?! Maksud kamu....??”
“Kamu akan mengetahuinya nanti. Sekarang teruslah menyetir, kamu tidak ingin terlambat ke acaranya kan?”
Rakha membenarkan. Pedas gas mobilnya di injak lebih dalam lagi. Tidak lama kemudian, mobil itu sudah bergabung dengan kepadatan lalu lintas metropolitan.
“Coba ceritakan kenapa harus kamu yang duduk di sebelahku? Kenapa bukan pribadi-pribadiku yang lain?” tanya Rakha sambil membolak-balik stirnya.
“No, You tell me.. Kamu yang menginginkan aku ada ada di sini.”
Kening Rakha berkerut. Aneh, batinnya.
Langit malam semakin kelam, namun pendar lampu-lampu sorot dari berbagai kendaraan, pendar lampu pertokoan dan neon box di jalan-jalan membuat suasana kota semakin semarak.
Begitu mobil Rakha berhenti di dekat traffic light yang berwarna merah, seorang anak mendekati kaca mobilnya sambil menjajakan koran dagangannya. Rakha membaca sepintas judul artikel di koran itu.
“Tidak perlu dibeli, kamu sudah punya koran itu di rumah,” kata Rakha yang disampingnya. Rakha kembali termenung, dia juga sering berkata demikian dalam hatinya setiap ada anak penjaja koran yang merapat di mobilnya saat lampu merah berpendar.
“Lihat lampunya sudah berganti hijau. Ayo!”
Rakha kembali menginjak pedal gasnya. Saat itu sebuah mobil lain dengan kecepatan tinggi menyalipnya dari belakang.
“Sialan!! Memangnya dia pikir jalan ini milik nenek moyangnya apa?!!” umpat Rakha (Rakha yang duduk di samping setir maksudnya).
Rakha (yang dibelakang setir) terhenyak. Dia juga sering sekali mengumpat demikian jika ada kendaraan yang mendahuluinya.
Di lampu merah yang berikutnya. Mobilnya di dekati seorang pengemis, nenek tua berpakaian kumal yang membawa kaleng bekas di tangan kanannya.
“Kasihan nak, nenek sudah seharian ini nggak makan. Kasihan nak....,” Suara nenek itu terdengar samar-samar. Rakha yang disamping setir kembali menggerutu, “Huh! Dimana sih petugas Kantib sekarang! Di jalan protokol seperti ini kok masih ada saja gelandangan dan pengemis...!!”
Lagi-lagi Rakha terhenyak. Dia juga sering membatin demikian. Begitu dia memandang kembali nenek tua itu, Rakha yang disampingnya berseru, “Hei!! lihat lampu merahnya sudah berganti hijau, ayo cepat! Kamu tidak ingin terlambat kan?”
Mau tidak mau Rakha kembali menyetir mobilnya melewati persimpangan di depannya. Di persimpangan berikutnya Rakha dipaksa untuk mengambil jalan alternatif.
“Jalan ini lebih sepi, jadi kamu bisa lebih cepat sampai. Kalau perlu tancap gas saja?” begitu kata Rakha disampingnya.
Dan ternyata di kanan kiri jalan itu hanya terdapat perumahan kosong dan tanaman liar. Jalannya juga sangat sepi dari kendaraan. Rakha pun menambah kecepatan mobilnya hingga jarum penunjukan spedometernya terus bergerak ke atas.
Namun tiba-tiba mata Rakha menangkap sosok seorang pria yang sedang menyeberangi jalan itu. Sejurus kemudian, decit ban mobil Rakha yang menapak di aspal jalan terdengar seperti jeritan kematian. Namun kecepatan mobilnya yang amat tinggi membuat tabrakan tak terhindarkan lagi. Mobil Rakha berhenti sesaat setelah menabrak orang itu.
Tubuh orang itu terlempar ke depan. Dengan sinar lampu mobilnya Rakha bisa melihat orang itu tergeletak tak sadarkan diri.
“Astaga...!!” Rakha melotot memandanginya. Rasanya dia tidak percaya kalau dia baru saja menabrak seseorang. Beberapa saat lamanya dia terpaku. Masih hidupkab orang itu?
“Hei!! biarkan saja dia! Itu kan salahnya sendiri. Dari jauh dia sudah melihat mobil kita, tapi dia tetap saja ngotot ingin menyeberang...,” Rakha yang disampingnya memecah suasana hening cipta itu.
“Ta... tapi kita harus menolongnya. Dia terluka parah, atau jangan-jangan dia sudah....”
“Ah sudahlah!. Ayo, lewati saja orang itu. Kamu sekarang sedang mengejar waktu. 15 menit lagi kita harus sampai di sana. Lihat, tidak ada orang di sekitar sini. Tidak ada orang lain yang tahu kalau kamu pelakunya.”
Rakha membenarkan. Dia melihat ke arah sekelilingnya, masih sesunyi tadi. Mungkin memang sebaiknya dia buru-buru beranjak dari situ. Berurusan dengan korban tabrakan seperti itu pasti berbuntut panjang. Salah-salah dia bisa berurusan dengan pihak kepolisian.
Mobilnya yang semula diam kini mulai bergerak perlahan, maju menghindari tubuh si korban lalu mulai melaju lagi.
Tapi tiba-tiba Rakha kembali menginjak pedal remnya. Ban mobilnya kembali berdecit.
“Ada apa lagi sih?!” tanya Rakha yang disampingnya.
“Kita harus menolong orang itu. Paling tidak.... kita harus tahu keadaannya....,” sahut Rakha.
“Tidak usah. Apa gunanya?! Ayo maju! Atau kamu mau aku yang menyetir....”
Rakha tidak menjawab. Dia mematikan mesin mobilnya, membuka pintu mobil, lalu bergegas ke arah orang yang ditabraknya.
Rakha yang disamping setir kelihatan jengkel dengan ulah Rakha itu. Masih dari atas jok mobilnya dia berteriak kesal, “Hei!!! Mau kemana kamu? Hei!!” Lalu karena Rakha terlihat tidak meresponya dia pun keluar dari mobil dan pergi entah kemana.
Rakha memegang pergelangan tangan korban, dan masih bisa merasakan detak nadinya yang lemah.
“Dia masih hidup!” serunya, “Hei! Bantu aku mengangkat orang ini.” Tapi tidak ada sahutan. Rakha berlari ke mobilnya dan mendapati mobilnya kosong melompong. Kemana perginya pribadiku tadi? Batinnya. Ah, aku bisa sendiri. Dia lalu buru-buru mengangkat tubuh orang itu dan membawanya ke mobilnya. Agak repot juga sih dilakukan sendirian. Tapi tak lama kemudian tubuh orang itu sudah terbaring di bagian tengah mobilnya. Sekarang nampak jelas kalau orang itu mengenakan pakaian yang kumal dan usang, separuh badannya juga berlumur darah dan.... hei! Rakha kembali terkejut. Wajah orang itu sangat mirip dengan wajahnya. Apa ini salah satu pribadinya lagi??
Akh, tidak ada waktu untuk berpikir sekarang. Dia harus secepatnya berada di rumah sakit.
Kini mobil Rakha pun berlari kencang menyusuri badan jalan. Kecepatannya bahkan lebih tinggi dari kecepatannya sebelum tabrakan tadi. Hanya satu di pikirannya saat ini, harus segera sampai ke rumah sakit.
Untunglah usahanya tidak sia-sia. Satu jam kemudian dia sudah terlihat duduk di lobby UGD sebuah rumah sakit. Dibajunya masih melekat sisa-sisa darah. Dia tampak lebih tenang dibanding tadi. Kedua tangannya terkatup erat seolah dia sedang memanjatkan doa agar Tuhan tidak lekas-lekas mengambil nyawa korbannya tadi.
Seorang dokter yang sudah berumur nampak menghampirinya.
“Bagaimana keadaannya, dok?” tanya Rakha.
“Nak Rakha tenang saja. Dia bisa tertolong. Bersyukurlah, karena nak Rakha menolongnya di saat yang tepat. Terlambat sedikit saja, dia sudah tidak bisa diselamatkan lagi.”
Rakha menghembuskan napas lega.
“Dia sudah boleh dijenguk, dok?” tanyanya lagi.
“Mm... untuk saat ini belum boleh karena dia masih butuh perawatan intensif. Coba besok saja, nak.”
Rakha mengangguk
“Baik, nak Rakha. Saya permisi dulu. Selamat malam.”
Rakha pun melangkah perlahan keluar dari rumah sakit. Aneh, sudah lama dia tidak merasa selega ini. Rasanya dia damai sekali. Dia pun menulis sebuah skedul untuk esok hari di komunikatornya.
Jam 10.00, menjenguk korban tabarakan di rumah sakit..... yang mungkin bagian dari diri saya juga.
Jam 10.15 keesokan harinya, dia kembali bertandang ke rumah sakit itu. Ternyata pasien yang akan dijenguknya sudah dipindahkan ke kamar perawatan dan kabar baiknya dia sudah bisa dijenguk.
Begitu masuk ke kamarnya, Rakha berdebar-debar. Dari kejauhan dia bisa melihat keadaan orang itu yang jauh lebih terawat dibanding saat dia membawanya kemarin. Walaupun tangan disebelah kirinya dibebat perban besar, wajah dan penampilannya tidak dekil lagi. Dan justru itu yang membuatnya semakin melihat kemiripan dirinya pada diri orang itu.
Orang itu rupanya menyadari kehadiran Rakha. Dia memandang Rakha sambil tersenyum tulus.
“Rakha, mendekatlah. Aku sudah menunggumu. Tulang tanganku retak, tapi tidak usah khawatir. Dokter bilang dengan perawatan, aku bisa pulih seperti sedia kala,” katanya.
Rakha kelihatan ragu-ragu untuk memulai ucapannya, “Ka... kamu tahu namaku. Apa... apa kamu juga bagian dari diriku?” tanyanya begitu berada di samping tempat tidur orang itu.
“Ya, tentu saja. Aku adalah nurani kamu. Kamu hampir membunuhku tapi aku senang dan tidak keberatan.... karena kamu berhasil menyelamatkan aku di saat yang tepat. Kamu berhasil menyelamatkan aku, Rakha....”
Rakha terhenyak. Jadi selama ini.... selama ini bagian diriku yang lain bersama-sama dengan aku dan nuraniku aku terlantarkan di luar sana.... Aku bahkan hampir membunuhnya!!
Rakha kembali terkejut saat HP-nya berbunyi nyaring.
Dunia tiba-tiba bergetar kencang, dan rasanya dunia melorot ke bawah dengan cepat. Rakha pun berteriak panik.
Rakha membuka matanya. Perlahan-lahan dia berusaha mengenali tempat dia berada sekarang. Ah, ini kan kamar tidurnya. Dia sekarang ada di atas ranjangnya. Dari jendelanya yang tersingkap dia bisa melihat pendar merah di ufuk barat sana pertanda hari sudah menjelang malam. Buku tulisan mahaguru dari India itu juga tergeletak di sampingnya. Dia pun mengambil HP nya untuk melihat tanggal dan penunjukan waktu saat ini.
Dia menghembuskan napas dan mengelap keringat sebesar biji jagung yang merembes di dahi dan lehernya. Dia benar-benar yakin sekarang kalau dia baru tersadar dari mimpi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar