Senin, 29 Juni 2009

Kerja Adalah Doa

Beribadah kepada Tuhan tidak mesti dalam keheningan sambil memanjatkan barisan doa atau mazmur yang indah. Ibadah kepada Tuhan itu sifatnya holistik dan melibatkan seluruh aspek kehidupan kita. Pekerjaan kita pun bisa jadi sarana untuk menghayati keintiman dengan Sang Pencipta.
Bagaimana caranya? Kitab Suci sudah menunjukan jawabannya. Dalam Kitab Suci tertulis bahwa hal-hal yang kita lakukan terhadap sesama kita sebenarnya merupakan refleksi bagaimana sikap kita terhadap Tuhan.
Nah, dalam lingkungan kerja, kita pasti berhubungan dengan orang lain. Bisa jadi itu rekan kerja kita, pimpinan kita, customer kita, murid kita, pasien kita, klien kita, de el el. Mereka adalah sesama yang membutuhkan kualitas kerja, pelayanan dan senyuman hangat kita. Kita bisa membuat mereka merasa lebih baik dan lebih nyaman terhadap kehadiran kita dengan cara menggeluti karir kita sebaik mungkin berlandaskan cinta. Jika kita semakin memancarkan energi positif bagi orang-orang di sekitar kita, dan membawa wajah sistem kerja kita ke arah yang lebih baik lagi, saat itulah kita sebenarnya sudah memberikan nilai-nilai diri kita yang tidak bisa diukur dengan kompensasi materi belaka.
Kontribusi utuh diri terhadap sesama lewat kerja kita, inilah yang membantu kita semakin menghayati kehidupan beriman kita. Jadi apapun profesi yang teman-teman tekuni saat ini (yang penting halal…), bersyukurlah, karena kerja adalah anugrah. Wujudkanlah syukur itu dengan bekerja sungguh-sungguh dan hati tulus penuh kasih. KERJA ADALAH BARIS-BARIS DOA YANG TERAKTUALISASI…..

Inspired by diklat etos kerja at Malino, 16-21 Juni 2009
.

Kamis, 11 Juni 2009

GO WITH THE FLOW?

Kalau kamu sempat mengamati sungai yang mengalir, coba perhatikan baik-baik arus sungai tersebut. Lalu bayangkan kamu berada di tengah-tengah arus sungai tersebut, terombang-ambing kesana kemari mengikuti kemanapun arus sungai itu membawa kamu. Go with the flow. Yap, frase ini sering kali tertanam di pikiran kita manakala kita berada pada situasi dimana kita harus mengambil inisiatif atau menentukan arah kita. Tanpa sadar kita kadang membiarkan diri kita terbawa oleh “arus” tersebut. Orang-orang di sekitar kita, sistem yang melingkupi kita, lingkungan tempat tinggal, dsb. Jika “arus” tersebut memang membawa kita ke arah yang lebih baik, it’s OK. Tapi bagaimana jika ternyata “arus” tersebut menyeret kita ke arah yang salah?
Sebutlah Alex, seorang fresh graduate yang mengikuti proses rekrutasi di sebuah perusahaan ternama untuk menempati posisi asisten supervisor. Tahap-tahap awal rekrutasi tersebut berhasil dilaluinya dengan baik. Sampai pada tahap akhir di mana dia dan kesembilan orang lain yang juga lulus ditempatkan pada suatu ruangan. Setelah menjawab beberapa soal secara tertulis, mentor yang mengetes mereka memberikan kartu berisi diagram penjualan perusahaan selama tahun 2000 sampai 2005 dan data-data pendukungnya. Mentor tersebut meminta mereka memperhatikan diagram itu dan menjelaskan kira-kira kenapa penjualan perusahaan berada pada level tertinggi pada tahun 2004. Alex yang berada pada nomor urut ke-5 dari sesi tersebut heran karena diagram itu menunjukkan kalau penjualan tertinggi berada pada tahun 2002 bukan 2004. Dia pun melirik sekilas kartu peserta tes lainnya di sampingnya. Bentuk diagramnya sama. Alex pun berharap peserta tes yang mendapat giliran pertama menanyakan ketidaksinkronan itu pada si mentor. Tapi itu tidak terjadi. Peserta pertama menjelaskan di depan ruangan dengan fasih mengenai hal-hal yang kira-kira membuat penjualan perusahaan berada pada level tertinggi pada tahun 2004 berdasarkan data-data pada kartu yang dibagikan dan si mentor mendengarkan dengan seksama sambil sesekali mengisi form tes ditangannya. Begitu pula yang terjadi dengan peserta ke-dua dan ke-tiga dan ke-empat. Alex jadi bingung. Tapi begitu gilirannya tiba, dia melakukan hal yang sama dengan peserta tes sebelumnnya.
Nah, apa kira-kira yang terjadi setelah tes itu? Alex yang sudah berharap banyak bakal mendapat pekerjaan itu menunggu dan menunggu, tapi panggilan berikutnya tidak kunjung datang. Ternyata sembilan orang peserta tes dalam ruangan tadi adalah karyawan perusahaan yang menyamar menjadi peserta tes. Hanya Alex sendiri yang merupakan peserta tes dan tes yang sesungguhnya adalah perusahaan mau melihat sejauh mana Alex dapat melihat kebenaran dari kesalahan yang terjadi di sekitarnya dan mempertahankan kebenaran itu. Pasti akan lain ceritanya kalau seandainya Alex menanyakan perihal kekeliruan pada kartu diagram saat tes berlangsung.
Jadi ungkapan “Go With the Flow” tidak selamanya membawa kita ke tempat yang aman. Jika memang kamu merasa benar dan dapat berbuat lebih baik daripada sistem di sekitar kamu, katakanlah “I’m the Flow!!” dan perlihatkan kalau kamu memang beda dan lebih baik.

GOD IS DO FAIR

Sering kali hidup kita ditimpa cobaan atau tantangan yang cukup sulit, sehingga di tengah-tengah perjuangan melewati tantangan itu kita sering mengeluh “Cobaan ini terlalu berat buat saya....!!”, atau “Mengapa kehidupan orang-orang di sekitar saya kelihatan begitu mudah dibanding kehidupan saya?”, atau “Nampaknya selalu saya yang mendapat cobaan hidup seberat ini...” dan ujung-ujungnya kita akan menyalahkan Tuhan untuk semua yang diberikan-Nya pada kehidupan kita, GOD IS NOT FAIR!!!

Saya teringat dengan sharing teman kantor pada saat teduh pagi di kantor kami beberapa waktu yang lalu. Dia juga pernah punya pengalaman hidup yang membuat dia men-judge Tuhan sedemikian rupa. Namun seiring dengan perjalanan waktu, dia pun menjadi sadar bahwa Tuhan benar-benar adil dalam segala pemberiannya baik itu karunia atau cobaan. Dia sadar bahwa Tuhan selalu memberikan yang terbaik untuk umatnya. Tuhan tidak pernah memberikan tantangan atau cobaan di luar kemampuan umatnya. Bila Tuhan memberikan tantangan hidup yang berat untuk seseorang, orang itu pasti punya kemampuan yang lebih untuk melewati tantangan itu dibanding orang-orang disekitarnya. Disitulah letak keadilan Tuhan. DIA memperlakukan setiap umatnya dengan pemberian yang berbeda-beda karena tiap orang dari kita memang unik adanya.

Hal inilah yang menguatkan teman kantor saya sehingga dia menjadi semakin tegar dan kuat menjalani hari-hari kehidupannya selanjutnya.

Kita juga bisa mengambil sikap yang sama. Jika saat ini kita berpikir Tuhan tidak adil terhadap kita dengan memberikan cobaan atau tantangan yang terlalu berat, sebaiknya kita segera men-switch pikiran kita dengan pikiran kalau Tuhan itu adil dengan memberikan tantangan yang pasti mampu kita atasi. Percayalah, setelah kita melewati satu lagi tantangan hidup kita, kita akan semakin kuat, semakin dewasa dan semakin menemukan makna kehidupan kita. GOD IS DO FAIR.....