Minggu, 07 September 2008

Get Trapped

Kalau kamu lagi bermusuhan sama seseorang saat ini, cerita ini cocok buat kamu.
Alkisah, di Baghdad bertahun-tahun yang lalu, ada dua orang saudagar yang cukup terkenal. Yang seorang bernama tuan Omar (pake tuan biar gengsi dikit) yang seorang lagi bernama tuan Ali. Mereka punya banyak jenis usaha. Mulai dari dagang, hotel, pertanian, peternakan, tempat pesiar dan seabreg usaha lainnya dan semua usahanya berskala besar. Jadi bisa dibayangkan bukan, betapa kayanya mereka ini.
Namun sayangnya, mereka juga terkenal karena permusuhan mereka. Sebenarnya awal permusuhan mereka adalah persaingan bisnis biasa, namun karena nampaknya tidak ada satu orang pun dari mereka yang punya inisiatif untuk berdamai, maka permusuhan itu pun semakin lama semakin runcing seiring dengan semakin majunya usaha mereka. (Kok jadi ingat Gober dan Rocker yach? ^_^)
Saat ini, walaupun kehidupan mereka sudah sangat mapan, mereka tetap memelihara perseteruan mereka.
Suatu hari terdengar kabar kalau di luar kota telah ditemukan sebuah sisa-sisa kota bawah tanah. Tempat itu tersingkap setelah tanah di atasnya longsor secara tiba-tiba.
Kabar itu sampai di telinga tuan Omar lewat tangan kanannya Abi.
“Wah, itu peluang bisnis besar. Bagaimana kalau kita membeli tempat itu dan mengolahnya menjadi tempat wisata baru? Pasti banyak orang yang akan datang ke sana dan kita bisa mendapat banyak untung. Iya kan?” tanya tuan Omar kepada Abi. Mereka saat ini ada di ruang kerja tuan Omar.
“Benar sekali, tuan,” sahut Abi. “Saya juga berpikir tempat itu bisa mendatangkan untung yang besar. Tapi tuan....,” Abi kelihatan ragu-ragu melanjutkan ucapannya.
“Tapi kenapa, Abi? Ada masalah?”
“Ng... kalau memang tuan mau berinvestasi di tempat itu sebaiknya tuan bergegas. Karena dengar-dengar tuan Ali juga punya niat yang sama. Dia akan meninjau tempat itu hari ini.”
“HAAH??!!!” tuan Omar berseru tiba-tiba. Abi sampai terkejut setengah mati. Untung saja dia tidak jantungan. “Omar mau ke sana hari ini??! Tidak bisa dibiarkan ini. Abi! Suruh penjaga menyiapkan kudaku. Kita juga akan ke sana sesegera mungkin. Ayo cepat!!”
“Ba... baik, tuan.” Abi yang sudah tahu tabiat tuannya itu langsung buru-buru keluar untuk melaksanakan titah tuannya.
Tempat yang dimaksud tadi berada di sebuah ladang milik seorang penduduk desa beberapa mil di luar kota. Beberapa bagian tanah di ladangnya yang longsor membentuk sebuah gua besar di permukaan tanah. Di dalam gua itulah di temukan ruangan-ruangan bawah tanah yang tak terjamah bertahun-tahun. Sejumlah orang sudah berkumpul di depan mulut gua itu. Ada juga yang sudah sempat masuk ke dalam. Mereka semua ingin menyaksikan dari dekat fenomena alam yang luar biasa itu.
Kemudian dari kejauhan terdengar suara derap kaki rombongan kuda. Suaranya menggema memenuhi udara di sekitarnya. Orang-orang di sekitar situ bersamaan memandang ke arah datangnya rombongan berkuda yang kelihatannya terburu-buru itu untuk mencari tahu siapakah gerangan mereka.
Ketika rombongan berkuda itu mendekat tahulah mereka kalau itu rombongan tuan Omar... dan tuan Ali. Mereka ternyata melakukan perjalanan ke tempat itu dengan waktu yang bersamaan. Kerumunan orang di sekitar gua itu langsung terdengar riuh rendah. Kelihatannya bakalan seru nih, begitu kata mereka. Dua orang pebisnis terkenal yang saling bermusuhan datang bersamaan.
Begitu rombongan itu tiba, tuan Ali langsung turun dari kudanya dan memandang gua dan longsoran batu disekitarnya dengan tatapan kagum.
“Luar biasa!” katanya. “Dari depan sini pemandangannya sudah cukup memukau. Bagaimana di dalam sana?”
“Hei!” Tuan Omar menghardiknya dari belakang. Dia juga sudah turun dari atas kudanya. “Tempat ini akan jadi milikku! Jadi hati-hati dengan omonganmu...,” katanya lagi.
“Enak saja! Aku yang duluan mendengar tentang tempat ini, jadi aku yang lebih berhak mendapatkannya!” sahut tuan Ali tidak kalah ketusnya.
“Heh! Aku rasa ini bukan masalah siapa yang pertama mendengar, tapi siapa yang punya penawaran paling bagus.”
“Apa? Kamu baru saja meremehkan aku Omar.... Hei! Siapa di antara kalian yang pemilik tanah ini?” Tuan Ali berbalik menghadap ke para penduduk dan menanyai mereka.
Seorang bapak tua dengan berbadan ceking maju ke depan. “Saya pemilik tanah ini tuan....,” katanya.
“Hmm...., kemarilah pak tua. Aku akan memenuhi rumah kamu dengan uangku, yang penting aku bisa memiliki tempat ini.”
Mata pak tua itu berbinar-binar mendengarnya.
“Hei... hei tunggu dulu!” potong tuan Omar. “Pak tua, aku bukan hanya memenuhi rumah pak tua tapi halaman pak tua juga akan kubanjiri dengan kepingan uangku... tentu saja kalau pak tua menjual tempat ini kepadaku.”
Mata pak tua itu tambah berbinar-binar. Tuan Ali kelihatan semakin kesal mendengar ucapan tuan Omar. Dia pun kembali menghardik tuan Omar.
“Omar! Aku akan selalu menang! Pak tua, tentukanlah kepada siapa bapak akan menjual tanah ini. Aku akan membayar berapa pun yang pak tua minta.”
“Enak saja! Selama ini aku yang selalu menang dibanding kamu, Ali! Pak tua, juallah tempat ini kepadaku, bapak hanya perlu menyebut harganya saja.”
Pak tua pemilik tempat itu kelihatan kebingungan. Tapi dia kelihatan seperti baru teringat akan sesuatu.
“Tuan-tuan yang saya hormati. Tidakkah sebaiknya tuan masuk ke dalam terlebih dahulu untuk melihat-lihat. Tuan-tuan baru melihat permukaannya saja di sini. Setelah tuan-tuan melihat ruang-ruang di bawah sana, baru kita lihat siapa kira-kira pembeli yang paling tepat,” kata pak tua.
Tuan Ali dan Omar nampak baru sadar kalau mereka memang sebenarnya belum melihat apapun dari ruang bawah tanah itu.
Begitu mereka hendak memasuki gua yang merupakan pintu masuk ke ruang di bawah sana pak tua itu kembali berkata, “Tapi saya sarankan tuan-tuan jangan masuk terlalu dalam, di bawah sana banyak labirin yang bisa menyesatkan.”
Tuan Omar dan Ali mengangguk lalu mereka bersama beberapa anak buah mereka masuk dan menuruni tangga yang terbentuk dari longsoran tanah menuju ke dalam perut bumi.
Beberapa lama mereka sudah berada di sisa kota bawah tanah yang dimaksud.
Tempatnya memang benar-benar mengagumkan. Pendar cahaya obor yang mereka bawa membuat relief-relief yang dipahat bekas penghuni tempat itu pada dinding-dinding di sekitar mereka menjadi semakin artistik.
Mereka sekarang berada di tengah-tengah sebuah ruangan raksasa, mirip ruangan aula dengan tiang-tiang dari bebatuan di sana-sini. Di sekitar mereka banyak lorong-lorong yang menghubungkan ruangan itu dengan ruangan-ruangan lain.
Sejak tadi mulut mereka tak berhenti berdecak kagum memandangi tempat yang amazing itu, termasuk tuan Omar dan Ali. Tapi dasar orang-orang yang saling membenci, mereka tidak pernah lepas memperhatikan satu sama lain. Jika tuan Omar berada cukup lama pada salah satu spot, maka tuan Ali lekas-lekas mencarinya. Dia khawatir kalau-kalau tuan Omar menemukan ada sesuatu yang menarik dan dia tidak mengetahuinya. Begitu pula sebaliknya.
Saking asyiknya mengeksplorasi, mereka sampai tidak sadar kalau mereka sudah agak jauh dari anak buah mereka. Saat ini mereka sedang menyusuri sebuah lorong labirin yang penuh dengan hasil seni ukir di dinding kanan dan kirinya. Lorong itu bermuara di sebuah ruangan penyimpanan yang hampir penuh dengan arca-arca kuno. Ukuran arca-arca itu bermacam-macam, mulai dari yang kecil yang dipajang di sekitar dinding sampai ukuran raksasa pun ada. Mereka berjalan menyusuri ruangan melalui koridor-koridor yang dibentuk oleh susunan arca berukuran raksasa itu. Kelihatan kalau mereka semakin kagum pada tempat itu.
“Luar biasa! Aku sudah tidak sabar ingin membeli tempat ini,” kata tuan Omar.
Namun perkataanya itu justur kembali memicu pertengkaran di antara mereka. Semakin lama nada suara mereka semakin tinggi. Suara mereka yang menggema sampai ke telinga anak buah mereka di luar. Orang-orang itu kini baru menyadari kalau mereka kini terpisah dari bos mereka. Beberapa orang dari mereka pun bergerak ke lorong tempat terakhir kalinya mereka melihat tuan-tuan mereka.
Namun tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Lantai, dinding, dan seluruh tempat itu tiba-tiba bergetar hebat. Orang-orang itu menjadi panik dan berlarian ke arah pintu masuk. Suara gemuruh lain terdengar, seperti suara bongkahan-bongkahan batu besar yang menghujam bumi. Sesaat, kemudian tempat itu tenang kembali, seolah-olah tidak terjadi apa-apa sebelumnya.
Gumpalan debu tipis beterbangan di sana-sini. Orang-orang yang ada di situ pun saling memastikan kalau mereka semua selamat. Untunglah tidak ada yang terluka. Tiba-tiba terdengar seruan dari seseorang di ujung lorong. “HEI!!! Tuan kita terperangkap di dalam sana! AYO KE SINI CEPAT!!!”
Benar. Tuan Omar dan Ali kini terperangkap di dalam ruangan penyimpanan tadi. Pintu masuk ke ruangan ini kini tertimbun longsoran batu dan tanah. Mereka kelihatan pucat mengetahui kini mereka sedang terperangkap.
“I... Ini semua gara-gara kamu Omar!!”
“HAAH??!! Kenapa aku lagi yang disalahkan?!!!”
“Kamu tadi yang pertama kali mengambil jalan ke tempat ini!!”
“Tapi kan tidak ada yang memaksa kamu untuk ikut!!”
Lagi-lagi mereka kembali bertengkar habis-habisan. Karena semakin kalut dan takut di dalam situ akhirnya masing-masing pun mencari jalan keluar sendiri-sendiri dari tempat itu dengan menyusuri setiap sudut ruangan itu, berharap ada jalan keluar lain dari tempat itu. Tapi sia-sia saja. Ruangan itu memang hanya memiliki satu jalan keluar. Cahaya obor mereka pun makin lama makin redup. Mereka pun dengan putus asa kembali ke depan longsoran yang menutupi pintu jalan keluar tadi.
Tuan Omar melirik tuan Ali.
“Dari pada bengong seperti itu ada baiknya kamu mulai menyingkirkan satu persatu bongkahan ini. Itu lebih berguna....,” katanya.
“Enak saja! Kenapa kamu pikir aku mau melakukannya?! Kamu saja kalau mau!! sebentar lagi anak buahku yang loyal akan menyingkirkan longsoran ini dan membebaskan aku dari sini,” sahut tuan Ali.
“Huh! Aku sudah lama mendengar desas-desus kalau kamu sering tidak bersikap manusiawi terhadap anak buahmu. Aku yakin anak buahku yang akan pertama kali membebaskan aku dari sini.”
“Kita lihat saja. HEIII!!!! AKU DI SINI!!!” seru tuan Ali sekeras-kerasnya.
“AKU DI SINIII....!!! WOIII..., ABII DIMANA KALIAN!!??” tuan Omar ikut-ikutan berseru.
Tuan Ali kembali berseru memotong seruan tuan Omar. Tuan Omar tidak mau kalah, dia juga berseru lebih lantang menutupi suara tuan Ali.
Api obor mereka kini hampir mati, membuat suasana tempat itu semakin suram. Kedua saudagar itu juga mulai kesulitan bernapas.
“Uhukk...!! apa.. apa yang terjadi ini? Leherku rasanya semakin tercekik... Uhukk!”
“Apa kita.... apa kita kehabisan oksigen...?”
“Ini... ini pasti gara-gara kamu, Ali. Tubuhmu yang tambun itu... pasti memboroskan banyak oksigen...”
“Enak saja! Uhukk...!!....,” lagi-lagi... mereka mulai bertengkar. Padahal harusnya di saat-saat seperti itu mereka melupakan sejenak perseteruan mereka dan bersama-sama mencari cara keluar dari situ.
Tak lama kemudian, suara mereka menjadi benar-benar lemah. Obor mereka juga padam. Keduanya pun jatuh tak sadarkan diri, hingga karena benar-benar kehabisan oksigen mereka berdua mati di tempat itu.
Sayang sekali, karena lima menit kemudian terdengar suara derak longsoran bebatuan itu. Satu persatu longsoran bebatuan itu berjatuhan. Dan akhirnya, separuh dari longsoran itu berhasil disingkirkan anak buah mereka yang sejak tadi menggali dari luar sana. Selagi seluruh batu dan tanah longsoran yang menutupi pintu masuk dibersihkan, beberapa orang dari mereka masuk untuk mencari tuan-tuan mereka. Alangkah terkejutnya mereka karena keduanya kini tergeletak tanpa nyawa lagi. Awalnya mereka mengira keduanya saling membunuh, tapi setelah memeriksanya dengan lebih seksama lagi, mereka jadi yakin kalau keduanya mati kehabisan oksigen.
Yeah, it's the end of the story. Tapi... kalau dipikir-pikir lagi, mereka memang saling membunuh satu sama lain secara tidak langsung. Coba seandainya mereka sejak awal tidak mengutamakan egoisme masing, mungkin masih ada kemungkinan mereka untuk selamat.
Pertengkaran, kemarahan dan temperamen tinggi membuat jantung kita memompa lebih darah lebih cepat daripada saat kita dalam keadaan rileks dan tenang. Hal itu membuat kita juga membutuhkan lebih banyak oksigen. Dalam kasus tuan Omar dan Ali, kemarahan mereka satu sama lain membuat stok oksigen dalam ruangan yang memang sudah terbatas sejak mereka terperangkap, menjadi cepat terkuras. Di tambah lagi kedua-duanya menyalakan obor yang juga butuh oksigen. Seandainya mereka bekerja sama dan tidak saling menyerang satu sama lain, mungkin oksigen dalam ruangan itu juga masih tersisa untuk beberapa saat dan kemungkinan mereka selamat juga makin besar. You see?
So, my friends, stop your anger and hostility cuz all that things can kill you sooner or later

Makhluk yang aneh

Pada suatu malam yang di depan jendela kamar kerja seorang perdana menteri, tiga ekor nyamuk bertemu. Mereka saling menyapa dengan hangat satu sama lain. Ternyata mereka adalah teman lama yang sudah lama tidak saling jumpa.

Nyamuk 1 : Hai, kawan-kawan, apa kabar? Rasanya sudah lama sekali kita tidak bertemu seperti ini.

Nyamuk 2 : Benar kawan. Kalian baik-baik saja kan?

Nyamuk 3 : (Tersenyum) Ini berkat doa kalian juga. Oh ya, selama ini kalian kemana saja?

Nyamuk 1 : Seperti biasa, berkeliling mencari darah segar dari manusia-manusia yang lengah.

Nyamuk 2 : Ya, benar. Apa lagi yang bisa kita lakukan?

Nyamuk 3 : Tapi akhir-akhir ini manusia semakin pintar saja. Mereka sudah menemukan banyak cara untuk mengusir kita.

Nyamuk 1 : Yah, namanya saja manusia. Mereka kan ciptaan Tuhan yang dikaruniai kemampuan berpikir paling baik. Lihat, volume otak kita saja jauh lebih kecil dibanding otak mereka.

Kedua nyamuk lainnya mengangguk-angguk.

Nyamuk 1 : Tapi kadang-kadang aku heran dengan manusia ini. Mererka sering jadi makhuk yang aneh. Coba kalian perhatikan bapak di dalam itu. Dengar-dengar dia seorang perdana menteri.

Nyamuk 2 : Oh, ya? Artinya dia orang top di negara ini dong?!

Nyamuk 1 : Benar. Banyak orang di luar sana yang berlomba-lomba ingin seperti dia saat ini. Harusnya dia sekarang bisa menikmati posisnya dengan tenang dan damai. Tapi lihatlah! Malam sudah selarut ini tapi dia masih saja sibuk memperhatikan tumpukan kertas-kertas di atas meja kerjanya dan monitor komputernya. Kerutan di dahinya sudah bisa dihitung. Setiap hari ada saja menteri yang melaporkan masalah kepadanya dan dia mesti selalu siap menyelesaikan masalah-masalah itu bagaimana pun kondisinya. Kelihatannya tugas-tugasnya itu sangat menyiksa dirinya. Buat apa orang berlomba-lomba menjadi seperti dia kalau nantinya hanya akan membuat hidup mereka tidak tenang.

Nyamuk 3 : Benar juga ya. Oh ya. Selama beberapa hari ini aku tinggal di rumah seorang pengusaha super kaya. Income-nya puluhan juta dalam sehari. Di dalam garasinya yang luas ada beberapa mobil terbaru. Rumahnya seperti istana. Dia termasuk orang yang beruntung, karena katanya banyak orang lain yang hanya bisa mimpi menjadi kaya seperti dia. Tapi saat malam, saat orang lain tidur dengan damai menikmati alam mimpinya. Dia malah masih sibuk menghitung nilai-nilai investasinya, saham perusahaannya dan tetek bengek lainnya. Kadang aku melihatnya hampir depresi memikirkan bagaimana mengolah kekayaannya itu. Padahal harusnya dia sudah bisa dengan tenang menikmati kekayaannya. Buat apa jadi orang kaya kalau ternyata hanya akan menyusahkan saja. Betul tidak?

Nyamuk 2 : (Mengangguk-angguk) Aku juga pernah beberapa hari mengikuti seorang selebritis terkenal. Dia seorang pemain film, bintang iklan, presenter dan penyanyi ngetop. Rasanya semua orang tahu namanya. Kalau dia berada di depan khalayak ramai, mata ratusan orang-orang itu memandangnya dengan tatapan kagum, sebagian lagi tatapan iri hati. Aku yakin banyak juga orang yang ingin jadi orang terkenal seperti selebritis ini. Tapi entahlah apa sebenarnya yang diimpikan orang-orang itu selain terkenal. Karena selebritis ini sering jatuh ke dalam masalah karena ketenarannya itu. Dia juga jarang beristirahat dengan cukup. Di saat yang lain menikmati alam mimpi mereka, dia malah masih harus sibuk bekerja. Menghafal skrip yang akan dimainkannya menghafal susunan acara yang akan dibawakannya belum lagi kalau ada konser keliling dia harus selalu tampil fit bagaimana pun keadaannya. Mungkin karena tidak tahan dengan kehidupannya itu, aku kadang melihatnya menyendiri untuk meneteskan air matanya.

Nyamuk 1 : Ternyata kita semua pernah bertemu manusia-manusia seperti itu. Sekarang ikutlah aku. Aku akan menunjukkan pada kalian manusia yang lainnya.

Kedua nyamuk yang lainnya pun mulai terbang mengikuti nyamuk yang pertama. Mereka terbang cukup jauh sebelum akhirnya berhenti di dekat sebuah rumah yang mungil namun asri. Dari ventilasi jendela rumah mereka bisa melihat seorang bapak tua tertidur dengan pulas di atas ranjangnya.

Nyamuk 1 : Lihatlah orang itu. Dia seorang petani sayur. Aku yakin tidak ada orang yang tertarik dengan profesi itu karena dia bukan orang yang berpengaruh, bukan orang terkenal, dan sama sekali tidak bisa disebut orang kaya. Tapi lihatlah dia. Dia seperti sedang tersenyum dalam tidurnya, karena dia benar-benar larut dalam ketenangan dan kedamaian mimpinya. Aku pikir orang-orang seperti inilah yang disebut manusia yang bisa menikmati kehidupannya.

Nyamuk 2 : Warna kehidupannya benar-benar berbeda dengan orang-orang yang kita ceritakan tadi.

Nyamuk 1 : Ya, dan kalau seandainya Tuhan mau merubah aku jadi manusia, aku lebih memilih menjadi seperti petani sayur ini.

Ketiga nyamuk itu kemudia terdiam cukup lama, memikirkan sifat manusia yang “aneh”.

Nyamuk 3 : Kita tidak akan pernah mengerti kenapa manusia-manusia itu beromba-lomba mencari jalan yang akan menyusahkan hidup mereka sendiri. Mungkin mereka punya jawaban sendiri. Yah, seperti katamu tadi. Otak mereka kan jauh lebih besar dibanding otak kita....



Perjalan Hasan dan Hasim


Kisah ini terjadi di tengah-tengah gurun Arab di timur tengah.
Dua orang sahabat, Hasan dan Hasim sedang melakukan perjalanan menuju ke sebuah kota yang baru pertama kali ini akan mereka kunjungi. Mereka membawa bekal makanan, air dan uang secukupnya untuk perjalanan yang akan memakan waktu kurang lebih dua hari.
Walaupun bersahabat karib, mereka memiliki perbedaan mengenai cara memandang suatu peristiwa. Hasan selalu mampu melihat hikmah di balik sebuah peristiwa paling getir sekalipun. Oleh karena itu hatinya selalu penuh dengan syukur atas apapun yang terjadi dalam hidupnya.
Sementara sifat Hasim kebalikannya. Dia adalah seorang penggerutu dan selalu mengeluh pada setiap masalah yang dihadapinya. Kadang dia merasa hidupnya tidak lebih dari rentetan kemalangan tanpa mau melihat sisi lain dari peristiwa pahit yang dialaminya.
Setelah lelah karena seharian melakukan perjalanan yang panjang, mereka memasang tenda sebagai perlindungan dari dinginnya udara malam gurun pasir. Namun malang, malam itu badai gurun yang dahsyat melewati tenda mereka. Mereka pun berjuang mati-matian mempertahankan perbekalan dan barang-barang mereka agar tidak dibawa badai pasir itu. Jubah, tikar tidur dan tenda mereka berkibar-kibar kencang ditiup badai. Akhinya mereka tidak bisa mempertahankan tenda mereka. Tenda itu terbang disapu badai.
Untunglah badai itu tidak berlangsung lama. Setelah badai berlalu, mereka berdua memastikan barang-barang apa saja yang dapat mereka selamatkan.
“Wah, badainya kencang sekali. Untunglah perbekalan kita tidak ikut dibawa badai,” kata Hasan.
“Ya, tapi lihatlah! Tenda kita sekarang lenyap! Kita pasti kedinginan dan.....Hasan!.... astaga!! peta kita juga lenyap!” seru Hasim sambil merogoh saku jubahnya. “Pasti dibawa badai sialan itu....”
“Haah!! Peta kita hilang!?” Hasan juga terkejut, tapi itu hanya sesaat. “Tapi mau bagaimana lagi? Kita tunggu sampai pagi datang, lalu kita berpatokan ke arah datangnya matahari sebagai kompas. Aku masih ingat kota tujuan kita berada di arah selatan. Tidak usah khawatir. Bersyukurlah kita masih punya perbekalan dan uang. Lagipula alas tidur kita juga masih ada. Lumayanlah untuk mengusir dinginnya malam,” katanya lagi lalu mulai merapikan tikarnya. “Sudah, sekarang tidurlah lagi, masih ada tiga empat jam lagi sebelum fajar.”
“Aah, kamu masih saja bisa bersyukur setelah bencana ini,” gerutu Hasim. Tapi tak urung juga dia lalu ikut berbaring untuk melanjutkan tidurnya yang tertunda.
Keesokan paginya, sejalan dengan munculnya matahari, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Peta mereka yang benar-benar hilang memaksa mereka berjalan berdasarkan arah bayangan yang dibentuk cahaya matahari.
Di sepanjang perjalanan Hasim tidak berhenti mengeluh dan bertanya.
“Kamu yakin arah kita sudah benar?”
dan dengan tenang Hasan menjawab, “Tentu saja tidak. Tapi kita tidak punya pilihan lain. Berdoa saja semoga kita bertemu musafir lain di jalan, biar kita bisa menanyakan arah yang benar.”
Tapi setelah berjalan sekian jauh, tidak seorang pun yang berpapasan dengan mereka di jalan. Malah yang mereka temui adalah seekor singa gurun yang memandang mereka dengan tatapan sangat tak bersahabat dan kelihatannya singa itu juga kelaparan.
Mereka pun berlari menghindari singa itu. Singa itu juga berlari mengejar mereka. Kejar mengejar kemudian terjadi. Tapi beban mereka yang cukup banyak membuat mereka menjadi lambat sehingga semakin lama singa itu semakin mendekati mereka.
“Buang semua bebanmu, Hasim! Simpan saja uangmu...!!” seru Hasan.
“Tapi ini makanan dan persediaan air kita...!!” balas Hasim.
“Biar saja! Dari pada kita yang jadi makanan singa itu! Aku akan melepas bebanku!!” Hasan melepas semua perbekalannya. Mau tak mau Hasan juga ikut melepaskan semua beban-bebannya.
Kini mereka bisa berlari dengan lebih ringan. Dan ternyata singa gurun berhenti mengejar mereka. Hewan itu lebih tertarik dengan air dan aroma makanan yang dijatuhkan Hasan dan Hasim.
Setelah berlari cukup jauh dan singa tadi hilang dari pandangan mereka, Hasan dan Hasim duduk di atas pasir dengan napas tersengal-sengal. Setengah menangis Hasim berkata,
“Lihat! Sebentar lagi kita akan mati kelaparan dan kehausan di tengah gurun ini. Perbekalan kita semua lenyap....”
Lagi-lagi dengan tenang Hasan menjawab.
“Tanpa minuman, kita masih bisa bertahan satu hari ke depan. Masih banyak yang bisa kita lakukan untuk bertahan hidup selama itu. Bersyukurlah karena singa kelaparan tadi tidak sempat mencabik-cabik kita. Lagipula kita masih punya cukup uang kan?”
Hasim mendengus kesal, “Satu lagi. Kita juga semakin kehilangan arah sekarang!” katanya.
“Benar juga ya!” sahut Hasan lirih, “Tapi belum tentu kawan. Lihat! Ada rombongan kafilah di sana.” Hasan menunjuk di arah kejauhan. Benar, ada satu rombongan kafilah kecil yang berjalan beriringan di depan mereka.
“Ayo kita hampiri mereka. Siapa tahu mereka bisa memberi kita pertolongan,” ajak Hasan.
Dia dan Hasim pun berjalan memotong jalur rombongan kafilah itu.
Sesampainya di sana, pemimpin kafilah yang budiman turun dari atas untanya dan bertanya pada mereka.
“Kawan musafir, kalian kelihatannya membutuhkan pertolongan. Apa yang bisa kami lakukan untuk kalian?”
Hasan bersyukur karena bertemu kafilah yang baik. Dia lalu menanyakan arah kota tujuan mereka. Kemudian Hasim menanyakan apa pemimpin rombongan juga bisa berbagi air dengan mereka.
“Hmm.... maaf sekali kawan. Saya sama sekali tidak tahu arah kota yang kalian tanyakan itu. Kami juga belum pernah ke kota itu. Tapi kalau kalian butuh air, kami punya air,” ujar pemimpin kafilah. “Hei, kawan! Ambilkan sekantong air di belakang. Berikan pada kedua kawan kita ini,” seru pemimpin kafilah pada seorang anggota rombongan.
“Dan kalian juga tidak perlu takut kehausan lagi. Sekitar satu kilometer di belakang kami, ada oasis yang dihuni oleh suku-suku barat yang baik hati. Kalian bisa mengisi perbekalan air minum kalian di sana. Siapa tahu ada di antara mereka yang tahu arah kota yang kalian maksud.”
Setelah menerima kantong air dari pemimpin kafilah, Hasan dan Hasim berterimakasih dan berpamitan. Rombongan kafilah pun meneruskan perjalanannnya.
Perkataan pemimpin kafilah tadi benar. Setelah berjalan beberapa saat, Hasan dan Hasim menemukan sebuah perkampungan kecil yang mengitari sebuah oasis. Di sekitar oasis nampak beberapa orang yang sedang menimba air dan memberi minum onta-onta peliharaannya.
“Tuhan masih sayang kepada kita, Hasim. Kita tidak akan mati kehausan. Di sini air melimpah ruah,” tutur Hasan dengan nada gembira.
Orang-orang yang mendiami oasis itu memang juga baik hati. Hasan dan Hasim disambut dengan ramah. Mereka diperbolehkan mengambil air sebanyak yang mereka mau. Seorang ibu tua malah berbaik hati menerima mereka makan siang di pondoknya.
“Kalian beruntung menemukan tempat ini,” kata ibu itu begitu mereka selesai makan. “Tidak banyak peta yang mencantumkan tempat ini. Mm... tapi mengenai kota tujuan kalian itu saya tidak tahu persis. Saya hanya tahu letaknya di arah selatan sana. Cobalah kalian pergi ke bagian selatan perkampungan ini. Di sana ada seorang pedagang bernama Abdul. Dia menjual berbagai macam barang termasuk peta. Siapa tahu dia bisa membantu kalian.”
Hasan dan Hasim mengangguk. Mereka berterimakasih pada ibu itu dan penduduk sekitar lalu bergegas ke tempat yang dikatakan ibu tadi.
Toko pak Abdul terletak agak jauh di luar perkampungan sebelah utara. Dagangannya memang bermacam-macam. Mulai dari tembikar, tepung, permadani, lukisan sampai unta juga dijualnya. Tentu saja peta termasuk salah satu dagangannya. Namun Hasan dan Hasim terkejut begitu mendengar harga segulung peta itu.
“Astaga!! harganya hampir sama dengan jumlah uang kita berdua,” bisik Hasim kepada Hasan sambil memeriksa pundi-pundi uang mereka.
“Cobalah tanya, siapa tahu harganya masih bisa ditawar,” sahut Hasan.
“Ehm...! Tuan Abdul, rasanya harga itu terlalu mahal untuk sebuah peta. Apa tidak bisa lebih murah lagi?” tanya Hasim.
“Oh, maaf sekali tuan Hasan dan Tuan Hasim,” sahut pak Abdul. “Peta ini peta terlengkap yang saya punya yang menunjukkan arah ke kota kalian, lengkap dengan nama desa-desa yang akan kalian lewati, nama penginapan di sepanjang jalan, selain itu.... salinan peta ini juga sudah tidak ada lagi. Peta ini spesial. Jadi yah, harganya juga spesial. Bagaimana? Jadi membelinya atau tidak?”
Akhirnya dengan berat hati, Hasan dan Hasim membeli peta itu lalu beranjak dari situ.
“Sial! Sial! Sekarang giliran uang kita yang lenyap. Sejak awal, perjalanan ini memang sudah penuh dengan kesialan,” gerutu Hasim ketika mereka sudah berjalan meninggalkan perkampungan.
“Tenanglah, Hasim. Setidaknya kita sudah punya peta sekarang. Kita juga sudah punya air,” sahut Hasan. Kedua tangannya mulai membuka lembaran peta itu. “ Dan pak Abdul tadi benar. Peta ini lengkap sekali. Ternyata kita sudah jauh memutar dari jalan yang seharusnya. Tapi peta ini menunjukan jalan yang bisa kita tempuh untuk sampai ke jalan yang seharusnya. Di sini juga ada nama-nama penginapan di sekitar jalan kita nanti.”
“Tapi apa uang kita masih cukup untuk membayar sewa penginapan nanti?” sergah Hasim.
“Mudah-mudahan saja masih cukup,” sahut Hasan.
Hari sudah menjelang malam ketika mereka sampai di penginapan yang tempatnya mereka ketahui dari peta. Saat ini mereka memang butuh makanan, tambahan air dan tempat yang hangat untuk beristirahat.
Penginapan itu bersih dan mewah. Begitu sampai di depan penerima tamu, sudah tercium sedapnya aroma daging panggang dan anggur dari dalam rumah makan penginapan. Hasan dan Hasim sudah tidak sabar untuk check-in.
Tapi kekhawatiran Hasim terbukti. Uang mereka tidak cukup untuk membayar sewa penginapan itu. Bahkan untuk membayar seporsi hidangan penginapan itu, uang mereka juga tidak cukup.
Penerima tamu yang rupanya memahami kesulitan dua orang di depannya itu memberikan saran.
“Sekitar satu jam perjalanan dari sini ada penginapan lain yang lebih murah. Bahkan bila kalian pandai mengambil hati pak Tua yang pemilik penginapan itu, kalian bisa menumpang tidur dengan cuma-cuma,” katanya.
Hasan mengambil petanya untuk melihat lokasi penginapan yang diceritakan si penerima tamu.
“Percuma saja. Penginapan itu terlalu kecil untuk digambar di dalam peta. Kalian ikut saja jalan di depan itu ke arah barat laut. Kalian akan tahu jika sudah menemukannya,” kata si penerima tamu itu lagi. Seorang tamu yang datang kemudian membuat perhatiannya beralih dari Hasan dan Hasim. Kedua kawan kita ini pun keluar dari penginapan dengan mimik kecewa. Tapi seperti biasa, Hasan dapat lebih mudah menerima keadaan itu dibanding Hasim.
“Sudah aku duga sebelumnya. Penginapan itu pasti mahal. Huh! Terpaksa kita berjalan lagi. Padahal perutku sudah keroncongan minta diisi,” keluh Hasim.
“Sudahlah. Uang kita kan tidak cukup untuk membayar penginapan itu. Lebih baik kita pergi ke penginapan yang dikatakan penerima tamu tadi. Cuma satu jam kok, tidak terlalu jauh. Siapa tahu kita beruntung diberi tumpangan cuma-cuma,” sambung Hasan.
Mereka pun mulai menyusuri jalan di depan mereka dengan bersuluh bulan yang tinggal sepotong. Kurang lebih satu jam kemudian sampailah mereka di tempat yang dimaksud. Memang tempat itu tidak susah dicari, karena di sekitar situ sepi sekali. Penginapan itu bangunan satu-satunya yang ada di situ. Dari kejauhan mereka sudah melihat lampu samar-samar dari dalam penginapan.
“Kita sudah sampai, Hasim.”
Mereka sekarang berada di depan penginapan itu. Tapi mereka kini tercengang, kondisi penginapan itu sangat memprihatinkan. Sangat jauh berbeda dengan penginapan yang mereka datangi tadi. Penginapannya nampak tua sekali, bangunannya juga kecil, mungkin lebih cocok di sebut rumah biasa saja.
“Apa ini cocok disebut penginapan?” Hasim mulai menggerutu lagi. “Aku jadi mengerti kenapa penginapan ini bisa memberi tumpangan cuma-cuma. Lihat, bangunannya saja reot begini. Aku berani taruhan, tidak ada tamu lain selain kita malam ini.”
“Tidak apa-apa kan? Yang penting kita dapat tempat menumpang dan makan, itu sudah cukup. Ayo kita masuk.”
Begitu mereka masuk, seorang bapak tua dengan rambut dan janggut yang hampir semuanya memutih menyambut mereka. Bapak itu awalnya terkejut, tapi begitu yakin kedua orang tamunya itu butuh tumpangan, dia langsung menyambut mereka dengan penuh keramahan. Bapak itu juga kelihatan gembira sekali.
Untunglah harga sewa penginapan itu juga murah. Jadi Hasan dan Hasim memutuskan akan menginap di tempat itu.
“Mari aku antar ke kamar kalian. Sudah lama sekali rasanya tempat saya ini tidak di datangi tamu,” kata bapak tua itu.
Kamar yang ditunjukan pak tua untuk mereka tergolong kecil untuk ukuran dua orang. Tapi tetap terlihat bersih terawat. Kelihatannya pak tua itu cukup telaten juga merawat penginapannya yang kecil itu.
“Ayo masuklah. Memang keadaan kamarnya agak usang tapi saya selalu menjaga agar kamar-kamar di penginapan ini selalu bersih dan hangat. Sekarang saya ke dapur dulu untuk menyiapkan makan malam kalian. Selamat beristirahat,” kata pak tua itu lalu dia beranjak keluar kamar itu. Hasan dan Hasim kemudian duduk di atas ranjang mereka masing-masing.
“Ranjangnya masih kuat, kamarnya juga bersih dan hangat. Lumayanlah,” kata Hasan.
“Tapi aku sebenarnya berharap tempat yang lebih nyaman dari ini. Rasanya harga sewa penginapan ini juga terlalu mahal untuk ukuran kamar seperti ini. Lihatlah, kamar rumah kita di desa masih lebih layak,” sambung Hasim.
“Sudahlah, Hasim. Berhentilah mengeluh. Kita harus bersyukur karena sudah bisa mendapatkan makanan dan tempat tidur malam ini. Ehm... saya akan menyusul pak tua itu untuk membantunya. Kelihatannya dia tidak mempunyai karyawan disini.”
“Ah, itu kan sudah kewajibannya sebagai pemilik penginapan ini. Aku lebih baik beristirahat sambil menunggu makan malam siap. Hmm... mudah-mudahan makan malamnya juga bisa mengenyangkan. Jangan-jangan.....”
“Ya sudah,” potong Hasan sebelum Hasim berceloteh panjang lebar lagi. “Kamu silahkan beristirahat. Saya akan ke belakang sekarang.”
Pak tua pemilik penginapan yang sedang membuat adonan tepung di dapur terkejut begitu Hasan masuk ke situ. Dia kembali terkejut mendengar niat baik Hasan yang ingin membantunya. Tentu saja pak tua itu keberatan.
“Ah, tidak usah, nak. Sekarang lebih baik kamu beristirahat saja di depan. Kalian membayar untuk mendapatkan pelayanan di sini. Jadi biarlah sekarang saya yang bekerja. Kalian kan pasti capek dan lapar, jadi bersantailah di depan.”
“Tidak masalah kok, pak. Saya juga suntuk jika hanya bersantai-santai saja. Lebih baik saya disini membantu bapak. Dengan begitu, makan malamnya juga akan tersaji lebih cepat. Iya kan, pak?”
Akhirnya bapak tua itu mengalah. Dia pun membiarkan Hasan membantunya. Selama bekerja mereka mengobrol tentang berbagai hal. Hasan menceritakan pengalamannya bersama Hasim sebelum sampai ke tempat itu. Pak tua juga menceritakan kisah-kisah hidupnya.
Obrolan mereka sampai di meja makan. Di atas meja saat ini sudah tersedia beberapa potong roti, sayuran dan sedikit gulai. Tidak mewah memang, tapi cukuplah buat mengisi perut yang kosong. Sambil menemani Hasan dan Hasim bersantap malam, pak tua itu terus bercerita dan memberikan pandangan-pandangan hidupnya kepada kedua tamunya. Hasan mendengarkan dengan antusias, sementara Hasim kelihatan cuma memaksakan diri mendengar ocehan pak tua itu.
Usai makan malam, pak tua lalu membereskan meja makan mereka dan kembali mengucapkan selamat beristirahat pada kedua tamunya.
Setibanya di dalam kamar, keduanya langsung berbaring di atas ranjang mereka masing-masing. Hasim mulai berceloteh lagi.
“Pak tua itu tadi terus saja berbicara, padahal topik pembicaraannya sangat membosankan. Untung aku masih bisa menghabiskan makan malamku.”
Tapi Hasan sama sekali tidak menanggapinya. Dia hanya mengucapkan salam pada sahabatnya itu. “Selamat malam, kawan. Mimpi yang indah,” katanya.
Di atas sana bulan bertahta semakin tinggi, pertanda malam juga semakin larut.
***********************
Keesokan harinya, Hasan dan Hasim terbangun oleh riuh derap langkah dan ringkikan kuda di depan penginapan. Mereka pun bergegas keluar kamar untuk melihat apa yang terjadi di luar sana.
Ternyata di ruang makan pak tua sudah duduk semeja dengan seorang pria tegap berseragam prajurit istana. Mereka kelihatan akrab sekali. Di depan mereka juga tersedia dua cangkir teh yang masih mengepul. Dari atribut pada seragamnya kelihatan kalau pria di depan pak tua itu seorang perwira tinggi. Di luar penginapan tampak belasan prajurit lainnya dan kuda-kuda mereka.
“Oh kalian sudah bangun?” kata pak tua menyapa mereka. “Ayo, bergabunglah bersama kami. Perkenalkan ini anak angkat saya, Manik. Di luar itu adalah pasukan pimpinannya.”
Hasan dan Hasim agak terkejut. Mereka tidak menyangka pak tua itu punya anak angkat seorang kepala pasukan. Mereka pun ikut duduk dan bersalaman dengan Manik. Pak tua mengambil dua cangkir lain, mengisinya dengan teh panas dari dalam teko dan menyuguhkannya kepada kedua tamunya. Mereka berempat kemudian mengobrol panjang lebar. Kali ini Hasim kelihatan lebih antusias dari semalam.
Hasan dan Hasim akhirnya mengetahui kalau beberapa tahun silam pak tua pernah menolong Manik yang sekarat akibat serangan pemberontak saat sedang mengantar pesan dari ibukota kerajaan. Pak tua berhasil memulihkan keadaan Manik dan sejak saat itu Manik menganggap pak tua sebagai ayahnya sendiri. Pagi itu pasukannya kebetulan melintas dan Manik menyempatkan diri untuk singgah beberapa saat. Ternyata tujuan rombongan pasukan Manik sama dengan kota tujuan Hasan dan Hasim.
“Kedua tamuku ini juga berniat ke kota itu. Bagaimana kalau kalian pergi bersama-sama saja?” tanya pak tua kepada Manik.
“Ya, tentu saja. Kalian bisa menumpang di kereta barang kami. Itu juga lebih aman. Sebenarnya kami diutus ke kota itu karena ada laporan yang masuk ke istana kalau di sekitar kota itu ada gerombolan penyamun yang selalu merampok dan menyerang musafir dan kafilah yang menuju dan keluar dari kota itu. Kami ditugaskan untuk mencari dan menangkap penyamun-penyamun itu. Jadi, saya pikir kalian memang sebaiknya ikut bersama-sama kami,” kata Manik kepada Hasan dan Hasim.
“Kami bersyukur sekali jika memang kami boleh diberi tumpangan. Iya kan, Hasim?”
“Iya. Apalagi kami juga sebelumnya tidak tahu sama sekali kalau di sekitar kota itu keadaanya tidak aman lagi.”
“Baiklah,” sahut Manik. “Sekarang kalian boleh bersiap-siap. Aku dan pasukanku akan berangkat sebentar lagi.”
Setelah berkemas, Hasan dan Hasim membayar uang sewa penginapan pada pak tua tadi. Tapi pak serta merta menolak uang mereka.
“Sudahlah. Uang kalian tidak diterima kali ini,” kata pak tua. “Kalian tamu yang baik hati. Kalian juga membawa keberuntungan tersendiri bagiku. Anak angkatku ini akhirnya bertandang kembali setelah lama kami tak bertemu.”
Manik tersenyum. Hasan tetap mencoba memberikan uang mereka, tapi pak tua itu juga mati-matian menolak uang mereka. Manik juga kemudian berkata kepada Hasan,
“Ambil saja uang kalian kawan. Ayahku ini memang orangnya lemah lembut, tapi untuk urusan begini dia orang yang sangat keras kepala.”
Hasan pun akhirnya mengalah. Mereka lalu berpamitan pada pak tua. Manik dan pak tua berpelukan beberapa saat sebelum mereka bergegas.
Tak lama kemudian, rombongan prajurit istana yang dipimpin Manik bergerak meninggalkan penginapan mungil pak tua. Di atas kereta barang, Hasan menyikut lengan sahabat karibnya sambil tersenyum.
“Kamu tahu tidak?” katanya. “Perjalanan yang kamu bilang penuh kesialan ini sebenarnya rencana Tuhan yang indah untuk kita agar kita bisa sampai di kota itu dengan selamat.”
“Maksud kamu?” tanya Hasim.
“Coba kamu pikir rentetan peristiwa yang kita alami. Seandainya di malam itu kita tidak diserang badai, kita tidak akan sampai di penginapan pak tua itu dan tidak akan mungkin bersama dengan rombongan prajurit ini. Seandainya kita tidak tersesat dan berjalan sesuai rute yang seharusnya, kita mungkin akan ikut jadi korban gerombolan penyamun yang diceritakan Manik tadi. Iya kan?”
Hasim akhirnya mengangguk tanda mengerti.
Hidup ini memang penuh dengan cobaan dan penderitaan. Tapi kalau kita melihat segala sesuatunya dengan hati penuh syukur, kita akan melihat bahwa di sekitar kita masih ada kebaikan dan anugrah untuk kita.
God always works in amazing ways.



Rakha dan Pribadinya

Rakha adalah seseorang yang bisa dikatakan cukup sukses untuk pemuda seusianya. Dalam usia yang belum genap 25 tahun, dia sudah memegang posisi General Manager di perusahaanya. Kehidupannya sangat mapan. Di rumah pribadinya yang megah dia memiliki dua kolam renang, fasilitas gym pribadi, garasi berisi mobil-mobil mewah dan belasan asisten pribadi (maksudnya pembantu gitu ^_^).

Tapi akhir-akhir ini dia kadang terlihat termenung. Kepalanya mulai dipenuhi pertanyaan seperti, sudah sesuaikan apa yang aku peroleh selama ini dengan apa yang aku butuhkan, apakah semua kesibukanku selama ini bisa menentramkan jiwaku, atau apakah selama ini orang-orang disekitarku merasakan manfaat dari keberadaanku dan pertanyaan-pertanyaaa sejenis. Itu terjadi setelah dia membaca sebuah buku karangan seorang mahaguru di India tentang pencarian arti hidup.

Suatu sore yang cerah setelah aktivitas yang menguras konsentrasi di perusahaanya, dia kembali membaca beberapa paragraf dari buku itu. Mungkin karena kelelahan, dia pun tertidur pulas.

Hari menjelang malam ketika dia dibangunkan seseorang. Rakha bangun dengan wajah kusut. Dia paling tidak suka ada yang mengganggu jam tidurnya (mungkin karena hanya pada saat-saat itulah dia bisa menikmati kehidupannya.) Tapi dia tiba-tiba terkejut ketika melihat orang yang membangunkannya. Orang itu sangat mirip dirinya. Dia seperti sedang berhadapan dengan sebuah cermin.

Si....siapa kau?!” tanya Rakha dengan mimik ketakutan.

Tenanglah. Aku juga Rakha...” jawab orang di depannya itu dengan santai.

Bagaimana bisa? Aku... aku...”

Aku ini bagian dari dirimu. Aku pribadi yang mewakili sisi disiplin dan keuletan dirimu... Bangunlah. Kamu harus menghadiri sebuah acara makan malam penting...”

Rakha masih tak mengerti, tapi yang keluar dari mulutnya, “Makan malam penting?”

Ya, itu yang dikatakan Rakha tadi. Dia sebentar lagi datang. Aku... keluar dulu sebentar.” Rakha yang lain tadi menghilang meninggalkan Rakha yang masih bengong. Rakha (Rakha yang lagi bengong maksudnya) beberapa kali mencubiti lengannya untuk membuktikan kalau dia tidak bermimpi. Dia benar-benar tidak bermimpi. Di tengah-tengah kekalutan pikirannya itu, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Orang lain yang lagi-lagi mirip dirinya masuk.

Rakha kembali terkejut, tapi kali ini dia tidak sekalut tadi.

Siapa kamu?”

Rakha yang barusan masuk tersenyum dan menjawab, “Aku Responsibilitas, agresifitas dan intelejensia diri kamu. Aku datang untuk mengantarkan undangan makan malam ini,” katanya sambil meletakan sebuah undangan berpita emas di sisi ranjang Rakha.

Aku... rasanya aku tidak ada janjian makan malam hari ini.”

Memang tidak ada. Tapi kamu pasti akan berubah pikiran kalau aku bilang Mr. Chang juga hadir di acara makan malam itu. Aku berhasil mencari tahu semua skedulnya selama seminggu ini. Dan rasanya acara sebentar itu bisa jadi peluang kamu untuk menjajakinya. Sst, Mr. Chang sebenarnya lebih suka bicara bisnis di acara-acara nonformil seperti makan malam sebentar. Kamu bisa mengatur agar pertemuan kalian sebentar terjadi secara kebetulan saja. Iya kan?”

Rakha tercenung. Dia memang sudah lama mengincar Mr. Chang untuk jadi investor salah satu proyeknya. Dan sepertinya malam ini kesempatan bagus.

Ayolah! Aku tahu ini yang kamu inginkan. Acaranya satu jam lagi loh. Tempatnya juga cukup jauh. Kamu tidak ingin terlambat ke acara itu kan?”

Rakha segera membuka sampul undangan itu, membacanya sebentar lalu bergegas ke kamar mandi. Dia masih kelihatan bingung, tapi acara ini memang tidak boleh dilewatkan.

Sekitar 20 menit kemudian, Rakha sudah di belakang stir Mercedes Benz-nya. Mobil berwaran biru gelap itu bergerak perlahan keluar dari garasi. Begitu mobil mendekati gerbang rumhanya, ada seorang, Rakha yang lain mengejar mobil dari belakang lalu masuk dan duduk di samping Rakha.

Kamu pribadiku yang mana lagi? Kewaspadaan berlalu lintas? Ketaatan pada lampu merah? Atau salah satu dari dua pribadi tadi?” tanya Rakha ketus pada Rakha di sampingnya.

Rakha di sampingnya tersenyum sinis. “Aku pribadi keegoisannmu....,” katanya.

Haah...?! Maksud kamu....??”

Kamu akan mengetahuinya nanti. Sekarang teruslah menyetir, kamu tidak ingin terlambat ke acaranya kan?”

Rakha membenarkan. Pedas gas mobilnya di injak lebih dalam lagi. Tidak lama kemudian, mobil itu sudah bergabung dengan kepadatan lalu lintas metropolitan.

Coba ceritakan kenapa harus kamu yang duduk di sebelahku? Kenapa bukan pribadi-pribadiku yang lain?” tanya Rakha sambil membolak-balik stirnya.

No, You tell me.. Kamu yang menginginkan aku ada ada di sini.”

Kening Rakha berkerut. Aneh, batinnya.

Langit malam semakin kelam, namun pendar lampu-lampu sorot dari berbagai kendaraan, pendar lampu pertokoan dan neon box di jalan-jalan membuat suasana kota semakin semarak.

Begitu mobil Rakha berhenti di dekat traffic light yang berwarna merah, seorang anak mendekati kaca mobilnya sambil menjajakan koran dagangannya. Rakha membaca sepintas judul artikel di koran itu.

Tidak perlu dibeli, kamu sudah punya koran itu di rumah,” kata Rakha yang disampingnya. Rakha kembali termenung, dia juga sering berkata demikian dalam hatinya setiap ada anak penjaja koran yang merapat di mobilnya saat lampu merah berpendar.

Lihat lampunya sudah berganti hijau. Ayo!”

Rakha kembali menginjak pedal gasnya. Saat itu sebuah mobil lain dengan kecepatan tinggi menyalipnya dari belakang.

Sialan!! Memangnya dia pikir jalan ini milik nenek moyangnya apa?!!” umpat Rakha (Rakha yang duduk di samping setir maksudnya).

Rakha (yang dibelakang setir) terhenyak. Dia juga sering sekali mengumpat demikian jika ada kendaraan yang mendahuluinya.

Di lampu merah yang berikutnya. Mobilnya di dekati seorang pengemis, nenek tua berpakaian kumal yang membawa kaleng bekas di tangan kanannya.

Kasihan nak, nenek sudah seharian ini nggak makan. Kasihan nak....,” Suara nenek itu terdengar samar-samar. Rakha yang disamping setir kembali menggerutu, “Huh! Dimana sih petugas Kantib sekarang! Di jalan protokol seperti ini kok masih ada saja gelandangan dan pengemis...!!”

Lagi-lagi Rakha terhenyak. Dia juga sering membatin demikian. Begitu dia memandang kembali nenek tua itu, Rakha yang disampingnya berseru, “Hei!! lihat lampu merahnya sudah berganti hijau, ayo cepat! Kamu tidak ingin terlambat kan?”

Mau tidak mau Rakha kembali menyetir mobilnya melewati persimpangan di depannya. Di persimpangan berikutnya Rakha dipaksa untuk mengambil jalan alternatif.

Jalan ini lebih sepi, jadi kamu bisa lebih cepat sampai. Kalau perlu tancap gas saja?” begitu kata Rakha disampingnya.

Dan ternyata di kanan kiri jalan itu hanya terdapat perumahan kosong dan tanaman liar. Jalannya juga sangat sepi dari kendaraan. Rakha pun menambah kecepatan mobilnya hingga jarum penunjukan spedometernya terus bergerak ke atas.

Namun tiba-tiba mata Rakha menangkap sosok seorang pria yang sedang menyeberangi jalan itu. Sejurus kemudian, decit ban mobil Rakha yang menapak di aspal jalan terdengar seperti jeritan kematian. Namun kecepatan mobilnya yang amat tinggi membuat tabrakan tak terhindarkan lagi. Mobil Rakha berhenti sesaat setelah menabrak orang itu.

Tubuh orang itu terlempar ke depan. Dengan sinar lampu mobilnya Rakha bisa melihat orang itu tergeletak tak sadarkan diri.

Astaga...!!” Rakha melotot memandanginya. Rasanya dia tidak percaya kalau dia baru saja menabrak seseorang. Beberapa saat lamanya dia terpaku. Masih hidupkab orang itu?

Hei!! biarkan saja dia! Itu kan salahnya sendiri. Dari jauh dia sudah melihat mobil kita, tapi dia tetap saja ngotot ingin menyeberang...,” Rakha yang disampingnya memecah suasana hening cipta itu.

Ta... tapi kita harus menolongnya. Dia terluka parah, atau jangan-jangan dia sudah....”

Ah sudahlah!. Ayo, lewati saja orang itu. Kamu sekarang sedang mengejar waktu. 15 menit lagi kita harus sampai di sana. Lihat, tidak ada orang di sekitar sini. Tidak ada orang lain yang tahu kalau kamu pelakunya.”

Rakha membenarkan. Dia melihat ke arah sekelilingnya, masih sesunyi tadi. Mungkin memang sebaiknya dia buru-buru beranjak dari situ. Berurusan dengan korban tabrakan seperti itu pasti berbuntut panjang. Salah-salah dia bisa berurusan dengan pihak kepolisian.

Mobilnya yang semula diam kini mulai bergerak perlahan, maju menghindari tubuh si korban lalu mulai melaju lagi.

Tapi tiba-tiba Rakha kembali menginjak pedal remnya. Ban mobilnya kembali berdecit.

Ada apa lagi sih?!” tanya Rakha yang disampingnya.

Kita harus menolong orang itu. Paling tidak.... kita harus tahu keadaannya....,” sahut Rakha.

Tidak usah. Apa gunanya?! Ayo maju! Atau kamu mau aku yang menyetir....”

Rakha tidak menjawab. Dia mematikan mesin mobilnya, membuka pintu mobil, lalu bergegas ke arah orang yang ditabraknya.

Rakha yang disamping setir kelihatan jengkel dengan ulah Rakha itu. Masih dari atas jok mobilnya dia berteriak kesal, “Hei!!! Mau kemana kamu? Hei!!” Lalu karena Rakha terlihat tidak meresponya dia pun keluar dari mobil dan pergi entah kemana.

Rakha memegang pergelangan tangan korban, dan masih bisa merasakan detak nadinya yang lemah.

Dia masih hidup!” serunya, “Hei! Bantu aku mengangkat orang ini.” Tapi tidak ada sahutan. Rakha berlari ke mobilnya dan mendapati mobilnya kosong melompong. Kemana perginya pribadiku tadi? Batinnya. Ah, aku bisa sendiri. Dia lalu buru-buru mengangkat tubuh orang itu dan membawanya ke mobilnya. Agak repot juga sih dilakukan sendirian. Tapi tak lama kemudian tubuh orang itu sudah terbaring di bagian tengah mobilnya. Sekarang nampak jelas kalau orang itu mengenakan pakaian yang kumal dan usang, separuh badannya juga berlumur darah dan.... hei! Rakha kembali terkejut. Wajah orang itu sangat mirip dengan wajahnya. Apa ini salah satu pribadinya lagi??

Akh, tidak ada waktu untuk berpikir sekarang. Dia harus secepatnya berada di rumah sakit.

Kini mobil Rakha pun berlari kencang menyusuri badan jalan. Kecepatannya bahkan lebih tinggi dari kecepatannya sebelum tabrakan tadi. Hanya satu di pikirannya saat ini, harus segera sampai ke rumah sakit.

Untunglah usahanya tidak sia-sia. Satu jam kemudian dia sudah terlihat duduk di lobby UGD sebuah rumah sakit. Dibajunya masih melekat sisa-sisa darah. Dia tampak lebih tenang dibanding tadi. Kedua tangannya terkatup erat seolah dia sedang memanjatkan doa agar Tuhan tidak lekas-lekas mengambil nyawa korbannya tadi.

Seorang dokter yang sudah berumur nampak menghampirinya.

Bagaimana keadaannya, dok?” tanya Rakha.

Nak Rakha tenang saja. Dia bisa tertolong. Bersyukurlah, karena nak Rakha menolongnya di saat yang tepat. Terlambat sedikit saja, dia sudah tidak bisa diselamatkan lagi.”

Rakha menghembuskan napas lega.

Dia sudah boleh dijenguk, dok?” tanyanya lagi.

Mm... untuk saat ini belum boleh karena dia masih butuh perawatan intensif. Coba besok saja, nak.”

Rakha mengangguk

Baik, nak Rakha. Saya permisi dulu. Selamat malam.”

Rakha pun melangkah perlahan keluar dari rumah sakit. Aneh, sudah lama dia tidak merasa selega ini. Rasanya dia damai sekali. Dia pun menulis sebuah skedul untuk esok hari di komunikatornya.

Jam 10.00, menjenguk korban tabarakan di rumah sakit..... yang mungkin bagian dari diri saya juga.

Jam 10.15 keesokan harinya, dia kembali bertandang ke rumah sakit itu. Ternyata pasien yang akan dijenguknya sudah dipindahkan ke kamar perawatan dan kabar baiknya dia sudah bisa dijenguk.

Begitu masuk ke kamarnya, Rakha berdebar-debar. Dari kejauhan dia bisa melihat keadaan orang itu yang jauh lebih terawat dibanding saat dia membawanya kemarin. Walaupun tangan disebelah kirinya dibebat perban besar, wajah dan penampilannya tidak dekil lagi. Dan justru itu yang membuatnya semakin melihat kemiripan dirinya pada diri orang itu.

Orang itu rupanya menyadari kehadiran Rakha. Dia memandang Rakha sambil tersenyum tulus.

Rakha, mendekatlah. Aku sudah menunggumu. Tulang tanganku retak, tapi tidak usah khawatir. Dokter bilang dengan perawatan, aku bisa pulih seperti sedia kala,” katanya.

Rakha kelihatan ragu-ragu untuk memulai ucapannya, “Ka... kamu tahu namaku. Apa... apa kamu juga bagian dari diriku?” tanyanya begitu berada di samping tempat tidur orang itu.

Ya, tentu saja. Aku adalah nurani kamu. Kamu hampir membunuhku tapi aku senang dan tidak keberatan.... karena kamu berhasil menyelamatkan aku di saat yang tepat. Kamu berhasil menyelamatkan aku, Rakha....”

Rakha terhenyak. Jadi selama ini.... selama ini bagian diriku yang lain bersama-sama dengan aku dan nuraniku aku terlantarkan di luar sana.... Aku bahkan hampir membunuhnya!!

Rakha kembali terkejut saat HP-nya berbunyi nyaring.

Dunia tiba-tiba bergetar kencang, dan rasanya dunia melorot ke bawah dengan cepat. Rakha pun berteriak panik.

Rakha membuka matanya. Perlahan-lahan dia berusaha mengenali tempat dia berada sekarang. Ah, ini kan kamar tidurnya. Dia sekarang ada di atas ranjangnya. Dari jendelanya yang tersingkap dia bisa melihat pendar merah di ufuk barat sana pertanda hari sudah menjelang malam. Buku tulisan mahaguru dari India itu juga tergeletak di sampingnya. Dia pun mengambil HP nya untuk melihat tanggal dan penunjukan waktu saat ini.

Dia menghembuskan napas dan mengelap keringat sebesar biji jagung yang merembes di dahi dan lehernya. Dia benar-benar yakin sekarang kalau dia baru tersadar dari mimpi.