Kamis, 29 Januari 2009

Mr. X

Suatu siang di kantin sekolah.
“Tuhan telah menciptakan hati untukku agar aku bisa mengungkapkan rasa cintaku dengan tulus. Kamu telah mencuri hatiku, Sya. Jadi terimalah pula cintaku, biar keduanya utuh bersamamu. Mr. x.”
Tasya meraih kembali ponselnya dari tangan Dina lalu menanti reaksi sohib setianya itu.
“Gimana?”
“Waaaah..... Mr. x kamu makin romantis aja, Sya. Aku jadi mulai jealous nih. Eh, kasih tahu ke dia dong sesekali kirim SMS romantis ke aku juga,” sahut Dina antusias.
“Gimana caranya mau ngasih tahu kalau tiap abis ngirim SMS HP-nya dimatiin.”
“Iya juga. Jadi, sampai sekarang kamu belum punya tebakan sama sekali siapa kira-kira cowok misterius itu?”
Tasya menggeleng.
“Tapi..... dia sepertinya selalu merhatiin aku, Din. Dia tahu momen yang pas buat SMS aku. SMS-nya nggak pernah masuk kalau aku sedang sibuk ngurusin tetek bengek OSIS atau musing mikirin tugas yang bejibun. Dia baru SMS kalau aku lagi santai dan nggak ada beban pikiran seperti barusan.”
“Eh, jangan-jangan si Allan?”
“Ah, nggak mungkin. Aku kenal Allan. Dia nggak mungkin.”
“Jadi siapa dong.”
“Yee.... kalo tahu, buat apa aku nanya kamu. Ah, udah deh. Tuh, bel udah bunyi. Kita ke kelas yuk.”
Dina mengiyakan. Lalu mereka berdua beranjak meninggalkan kantin sekolah yang emang mulai sepi itu menuju ke kelas.
Allan yang tadi diomongin itu ketua OSIS sekaligus ketua ekskul Voli. Mereka (Allan sama Tasya) emang cukup dekat. Banyak orang mengira mereka benar pacaran. Allan juga ada hati sama Tasya. Tapi segala hal yang menyangkut hati bukanlah hal yang mudah dipaksakan. Tasya sendiri menganggap kedekatan mereka tidak lebih dari hubungan ketua dan sekretaris OSIS. Dan dia selalu berusaha mempertahankan jarak itu segigih apapun usaha Allan.
Memang, kadang-kadang hati Tasya goyah juga oleh perhatian dan kebaikan Allan padanya. Allan bahkan sudah pernah menembaknya. Tapi sekali lagi, cinta tidak bisa dipaksakan. Tasya terus menganggap Allan sebagai sahabatnya.
Sampai sebulan yang lalu. SMS pertama dari Mr.X masuk ke HP-nya. Awalnya Tasya mengira itu kerjaan iseng teman-temannya. Namun dua minggu yang lalu bertepatan dengan ultahnya lagi-lagi Mr. X memberinya surprise dengan mengirimkan sepasang sepatu high-heels biru laut padanya. Nomornya juga cocok dengan ukuran kakinya. Dia pun sadar ini bukan kerjaan orang yang iseng. Mr. X is really exist, benar-benar ada. Ada di suatu tempat, memandanginya dengan penuh cinta, menunggu momen yang tepat untuk menyatakan diri.
*****************************
Tiga hari lagi valentine. Semua orang kelihatan sibuk menyusun acara menyambut hari itu. Yang sudah punya pasangan sudah pasti tidak ingin hari itu lewat begitu saja. Tapi bukan berarti yang still jomblo mesti sedih. Dina, yang juga kebetulan lagi jomblo inisiatif mengundang beberapa teman yang bernasib sama temasuk Tasya untuk kumpul di rumahnya pas valentine nanti. Yah, dia mau ngadain jomblo party kecil-kecilan. Tasya Cuma senyum-senyum kecil saat kemarin Tasya mengutarakan idenya itu. Emang, kalau soal party dan tetek bengeknya serahin ke Dina deh. Dia ahlinya.
But by the way, Tasya mana nih? Oh itu dia. Dia kelihatan sedang menyendiri di taman belakang lab kimia. Dia nampak tenggelam dalam novel teen-lit di telapak tangannya. Kadang tersenyum-senyum sendiri kayak orang edan. Asyik benar.
“Sendirian, Sya?”
Tasya agak terkejut, lalu menoleh ke sumber suara itu.
“Eh, kak Aber. Ng... iya, nih.”
Cowok itu tersenyum kecil. Tasya terkesiap.
“Oh my God....!! look! Kak Aber tersenyum! Kak Aber tersenyum!” Tasya menjerit dalam hati.
Memang semua orang tahu kak Aber itu asisten lab kimia yang paling killer. Anjing herder aja kalah kali. Udah nggak pernah senyum, ngasih nilainya pelit banget. Dia juga bukan tipe cowok kebanyakan. Nggak suka banyak omong dan nggak suka neko-neko. So mysterius. Tapi siang ini....
“Boleh duduk?” tanyanya.
Tasya mengangguk sambil menyimpan rasa herannya dalam-dalam. Aber pun meletakan jas praktikum yang dipegangnya di atas sandaran bangku taman dan duduk di samping Tasya. Beberapa saat keduanya diem-dieman. Tasya pura-pura kembali asyik dengan bacaannya. Sementara aber memandangi birunya langit dan putihnya awan-awan. (Hehe... sok puitis banget ya?!)
“Sya....,” ucap Aber memecah kebekuan itu.
“Ya.”
Tasya pun mengalihkan perhatiannya. Aber mengeluarkan kado mungil berpita pink dari tasnya, lalu menjulurkannya ke Tasya.
“Aku harap kamu nggak keberatan menerima ini. Sekalian aku pengen ngucapin met Valentine.”
Akhirnya Tasya menerima kado itu, walau raut wajahnya menunjukkan dia berusaha mencerna dia berusaha mencerna kata-kata Aber barusan.
“Oh ya. Aku hampir lupa, aku sudah ada janji sama pak Kertajasa. Aku tinggal dulu ya.”
Aber pun beranjak dari situ. Perlahan jemari Tasya membuka kado itu. Dia cukup terkejut. Ada sepotong coklat berbentuk hati dengan tulisan ‘for Tasya’. Tasya pun memandangi aber yang berjalan menjauh. Ada sesuatu yang bergetar di hatinya.
*********************
“Huh! Belum selesasi Mr. X, kak Aber juga ikut-ikutan bikin aku penasaran!” batin Tasya kesal. Ya, sudah tiga hari berlalu sejak siang saat dia ketemu Aber. Dan sekalipun, Aber tidak pernah lagi menghubungi Tasya. Apa sih maksudnya? Cowok memang aneh. Oh iya, ada satu cowok lagi, Allan. Dia tidak pernah kapok mendekati Tasya. Siang tadi dia mengajak Tasya hang-out, tapi Tasya menolak... dengan halus tentu. Dia ingin membuktikan pada semua orang kalau dia tidak pacaran sama Allan.
Sore ini Tasya nampak berdandan dengan tergesa-gesa. Dia keenakan tidur tadi dan hampir lupa sore ini ada acara di rumah Dina. Saat sedang asyik menyapukan bedak ke pipinya, HP-nya berbunyi.
“Siapa lagi sih ini?” gerutunya.
Tasya meraih HP itu dan... matanya membelalak.
“Mr. X,” gumamnya kaget.
Pasalnya kali ini bukan SMS, tapi Mr. X betul-betul sedang menghubunginya. Tasya pun menetralkan debaran jantungnya sebelum berbicara.
“Ha... halo...”
“Hallo, Sya. Happy Valentine Day. Ada acara nggak sore ini?”
“Ng...ya, aku mau ke rumah Dina, tapi....”
“Wah, kebetulan. Aku antar ke sana, mau kan?”
“Wait, wait! Kamu bicara seolah-olah kamu nggak ada salah sama aku. Tahu nggak, karena kerjaan kamu aku kadang sampai pusing, nggak bisa tidur, nggak nafsu makan...!!” gerutu Tasya.
Mr. X di seberang sana tertawa kecil, memamerkan suara baritonnya.
“Sorry.... sorry.... aku nggak...”
“Udah, deh. Sekarang kamu mau ngajak aku jalan, padahal kenal saja belum. Siapa sih kamu?!”
Cklik!!
Hubungan terputus. Tasya terkejut. Tapi sedetik kemudian bel pintu Tasya bernyanyi nyaring. Tasya kembali membelalak. Kali ini jantungnya berdegup lebih kencang.
“Jangan-jangan...”
Sesaat Tasya tak bergeming, lalu jantungnya hampir copot saat ibunya memanggil dari luar kamar.
“Syaaa....!! cepetan! Tuh teman kamu udah datang...!!”
“Haah...?! aku kan nggak janjian sama siapa-siapa.”
Secepat kilat Tasya berlari keluar kamar menuju ke ruang tamu. Setiba di sana Tasya kembali diam tak bergeming. Di depannya berdiri seorang cowok yang sudah dikenalnya. Cowok itu sore ini kelihatan kyut banget, lain dari biasanya. Sudah gitu wangi pula. Tasya jadi speechless saking kagetnya.
“K... Kak Aber...?”
Aber mengangguk sambil tersenyum.
“Jadi... jadi kak Aber yang selama ini....”
Sekali lagi Aber mengangguk.
“Aku sendiri belum bisa percaya aku bisa seberani sekarang ini. Sekarang kamu udah boleh ganti Mr. X dengan namaku di dalam HP kamu.”
Tasya kelihatan bingung mengekspresikan isi hatinya. Senang, jengkel, kaget, campur aduk jadi satu.
“Oh ya, kamu mau ke rumah Dina kan? Udah siap meluncur?” tanya Aber.
“Oh, kelihatannya belum. Tuh dahi kamu belum dibedakin....,” sambungnya lagi.
“Uupss...!”
Tasya lupa tadi dia sedang dandan. Seketika itu juga wajahnya dihiasi senyum kikuk dan jadi semerah tomat. Dia pun langsung ngacir lagi ke dalam.
******************
Rumah Dina kelihatan sudah ramai. Anak-anak yang udah datang asyik bergosip ria dan kanget-kangenan. Soalnya Dina juga mengundang beberapa teman semasa SMP dulu. Di atas meja di ruang tamu yang luas penuh aneka kue dan jus buah. Musik dance terdengar menghentak-hentak. Dina sendiri nampak sedang mengutak-atik koleksi DVD valentine-nya.
“Dinaaaa....!!”
Dina kaget setengah mati. Tasya menghampirinya tak sabaran.
“Kamu mesti jelasin semuanya...!!”
“Eh, kamu udah tiba, Sya? Lho, kak Aber mana?”
“Tuh, kan. Kamu tahu. Dia gabung sama Bono dan Dadang. Mestinya aku sudah lama curiga sama kamu. Ayo ceritain semua sebelum aku mati penasaran....,” desak Tasya lagi.
Dina senyam-senyum jahil.
“Hehe... terus terang selama ini aku memang mengatur semua ini. Kamu dan kak Aber hanya pelakon skenario yang aku buat. Kalo dipikir-pikir, aku berbakat juga ya jadi penulis naskah sama sutradara sekalian.”
“Narsis banget! Ayo lanjutin....”
“Eh, emangnya kak Aber nggak cerita sama kamu di perjalanan tadi...?”
“Kak Aber bilang kamu yang akan jelasin semua...”
“Oo gitu. Ya udah deh.”
Dina menarik napas dalam-dalam, lalu....
“Semua berawal kurang lebih sebulan yang lalu. Waktu itu aku secara nggak sengaja.... ini nggak sengaja lho, aku baca diari kamu.”
“Haah.....!!?” Tasya tersentak.
“Kamu.... baca bagian mana?”
“Ng... aku baca semuanya...”
“Ember! Itu mah bukan nggak sengaja lagi....!”
“Eh, eh, tenang mbak. Tapi harusnya kamu bersyukur, karena itu aku jadi tahu kamu ternyata ada hati sama kak Aber dan... kamu tidak salah pilih. Kak Aber juga punya rasa yang sama.”
Tasya terdiam sejenak.
“....tapi kenapa kamu bisa begitu dekat sama kak Aber?”
“Itu yang kamu belum tahu. Dia itu.... sepupu aku.”
Tasya menatap tak percaya.
“Kok kamu tidak pernah bilang?”
“Tadi sudah. Nah, sekarang kita gabung sama anak-anak di depan, yuk?!”
“Eh, eh, satu lagi.”
Tasya menahan lengan Dina.
“Ng... apa benar kak Aber suka sama aku?”
Wajah Tasya memerah lagi.
“Duh yang lagi kasmaran. Benar tidaknya, hanya kamu yang bisa mengetahuinya nanti. Aku hanya bisa membantu sampai di sini. Sekalian aku mau minta maaf, sudah ngerjain kamu. Tapi percayalah, ini semua karena aku pengen yang terbaik buat kamu.”
Tasya mengangguk.
“Kalau begitu thanks ya, udah membantu aku dekat sama kak Aber. Padahal kamu sendiri masih....”
“Jomblo maksud kamu!! Sekarang nggak lagi. Dua hari yang lalu aku jadian sama Adri.”
Tasya kaget.
“Adri? Kamu beneran jadian? Kamu sekarang benar-benar pandai main rahasia-rahasiaan ya.”
“Kan kamu yang mulai. Coba dari dulu kamu cerita tentang kak Aber, kamu nggak usah susah-susah nyari alasan menghindar dari Allan. Tapi... kamu nggak usah khawatir.... Mungkin sebentar lagi kamu juga punya gandengan. Nah sekarang samperin deh pangeran kamu. Dia udah nunggu tuh,” goda Dina.
Tasya tersenyum lalu memeluk Dina erat.
*********************
Tasya memandang langit yang mulai temaram dari jendela kamarnya sebentar lagi sore akan berganti dengan malam. Tasya membuka lembar demi lembar diarinya. Pada lembaran terakhir dia kembali menggoreskan penanya.
......Kini Mr. X pun bukan lagi sebuah misteri. Dia telah menjelma, bagai mimpi-mimpi yang jadi nyata.... hampir jadi nyata. Cowok misterius yang pertama menggugah hati ini, kini bukan lagi aku miliki dalam mimpi. Dia telah ada di depan mata, masih dengan segala pesonanya..... Apakah dia benar-benar akan kumiliki?
♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥by:PikaL♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥

"Hachiiii......!!!"

“Doniiiiiiii…..!!”
Suara jeritan gemes dari dalam tenda membuat anak-anak di sekitar situ yang lagi asyik mendirikan tenda lainnya menghentikan kegiatan mereka sejenak. Dari dalam tenda yang udah kelar duluan tadi muncul wajah seorang cewek berambut sebahu. Tya. Dia nampak kesal sekali, lalu berseru “Doniiiiii…!!!,” lagi.
“Ada apa sih, Tya teriak-teriak?” Tanya Norma yang muncul dari samping. Sementara itu anak-anak yang lain kembali melanjutkan kesibukan mereka, karena bukan rahasia lagi kalo Tya dan Doni itu emang ibarat kucing dan anjing, alias gak pernah akur.
“Itu, si brengsek Doni ngumpetin sandal jepit aku!”
“Aku nggak lihat Doni di sekitar sini kok.”
“Kalo bukan dia siapa lagi?! Nggak pernah dia kapok ngusilin aku…” sahut Tya masih dengan wajah kesalnya.
“Sabar Tya, jangan berprasangka buruk gitu dong. Jangan-jangan….”
“Dia tadi ke sini, Norma. Dia ngambil titipan kupluknya di ransel Bowo. Tidak lama setelah dia pergi, eh, sandal jepit aku yang ada di sini tadi langsung lenyap. Siapa lagi sih kalo bukan Doni yang punya ulah kayak gini kalo bukan dia?”
Norma cuma mengangkat bahunya.
“Nah, tuh si brengsek datang. Awas dia ntar.”
Sementara itu dengan wajah tanpa dosa, Doni berlari-lari lucu ke arah mereka.
“Eh, abang denger tadi neng Tya manggil-manggil abang. Ada yang bisa abang bantu neng?” goda Doni begitu sampai.
“Hei, dodol! Mana sendal jepit aku !?”
Doni berlagak kaget.
“Lho, kok nanyanya ke aku?”
“Ya kalo bukan kamu siapa lagi?”
“Ng.... kali aja lagi jalan-jalan menikmati sejuknya bumi perkemahan ini.”
“Grrrr.....!!!”
Tya udah nggak bisa memendam amarahnya lagi, dia lalu keluar dari tenda dan berlari ke arah Doni. Ingin rasanya dia mengobrak-abrik wajah Doni saat itu juga. Mau tak mau, Doni juga ikut-ikutan kabur. Tapi mendadak Tya berhenti. Dia merasa ada benda aneh yang bergelantungan di belakang pinggangnya. Norma yang pertama melihat benda itu langsung cekikikan. Begitu pula beberapa anak di sekitar situ. Dia pun membuka ikatan sendal jepit Tya yang ternyata tergantung di sela-sela ikat pinggangnya.
“Nih sendal jepit kamu,” kata Norma. Doni tertawa geli.
“Oh, ternyata sendal jepit kamu lagi main petak umpet. Hehehe....”
“Sialan kamu!! Nih rasain....!!!”
Dengan kesal Tya menyambit Doni dengan sendal yang udah ada di tangannya. Doni berkelit dan sendal pink itu mendarat dengan sukses di tanah yang tergenang lumpur.
“Croooot!!”
Walhasil sendal yang tadinya cantik itu terpaksa jadi sendal buruk rupa.
“Itu jelas bukan salah aku,” celetuk Doni.
“Doniiiiii...........!!!”
**********************
Matahari hampir masuk ke peraduannya. Suasana senja hari itu amat indah, apalagi bila dinikmati dari tengah-tengah padang rumput yang luas. Anak-anak Sispala (Siswa Pencinta Alam) SMU Asa Jaya emang sengaja memilih lokasi bumi perkemahan yang jaraknya tiga jam perjalanan dari kota ini, untuk melangsungkan kegiatan tahunan mereka, pelantikan anggota baru. Tahun ini ada sekitar 30-an calon Sispala baru dan mereka saat ini sedang diberi pengarahan oleh Bambang sie kedisiplinan di bagian utara perkemahan. Sementara itu Hartono, ketua panitia sekaligus ketua sispala sedang memeriksa tenda-tenda yang kelar.
“Tenda untuk anak-anak baru udah kelar, Gun?”
“Beres, bos!” sahut Gugun sie perlengkapan.
“OK, deh. Kalo gitu persiapan kita udah hampir kelar.”
“Hai, Ton. Gabung yuk, kita ngopi bareng,” ajak anak-anak sie keamanan begitu Hartono sampai di posko mereka. Di situ ada Doni, Santo dan Karol. Mereka nampak asyik menikmati kopi hangat.
“Boleh. Aku mau satu, masih ada?” balas Hartono.
“Yup.”
Dengan sigap Karol menyeduh kopi instan yang udah dia siapkan di cangkir menggunakan air hangat dari dalam termos mininya.
“Thanks, Karol.”
“Jam berapa ntar acaranya dimulai, Ton?” tanya Doni.
“Ng.... sekitar jam 10-an lah. So kita masih punya waktu sekitar tiga jam buat istirahat dan menyiapkan lokasi,” sahut Hartono.
Saat itu pandangannya tertuju pada tenda sie konsumsi. Di sana ada Tya dan Norma yang kelihatan sibuk memindahkan air dari jerigen ke panci gede buat dipanasi.
“Eh, kamu nggak bantuin Tya, Don? Tuh dia kelihatan sibuk bener,” ucap Hartono lagi.
“Buat apa? Itu kan udah tugasnya. Ntar dikira aku mau cari muka lagi.”
“Benar juga. Lagian Tya pasti masih kesal tadi kamu usilin lagi.”
Doni langsung tersenyum.
“Kenapa sih, Don, kamu hobiiii banget bikin Tya kesal?” tanya Santo.
“Hehehe, nggak tahu. Cuman aku seneng aja lihat mukanya kalo lagi marah.”
“Alah.... bilang aja kalau lo suka ama Tya. Iya kan?” sambung Karol.
“Idih....! nggak lah ya. Anaknya tomboy gitu. Bukan tipe aku.”
Doni bergidik, yang lain langsung geerrrr.... Sementara itu di tenda sie konsumsi,
“Eh, Tya. Kayaknya Doni ama temen-temennya lagi merhatiin kamu deh.”
“Biarin aja,” sahut Tya ketus tanpa menoleh sedikitpun.
Norma duduk di atas bongkahan batu yang cukup besar lalu memandangi Tya yang masih sibuk mengecek bahan-bahan untuk makan malam nanti.
“Tya, aku ngerasa sepertinya Doni ada hati sama kamu. Di balik sikap Doni selama ini aku ngerasa dia punya perhatian khusus sama kamu.”
“Aku ngerasa aku nggak ada hati sama sekali sama si brengsek itu,” sahut Tya masih sama ketusnya.
“Ah, yang bener?” goda Norma.
“Kamu mau aku buktiin kalo aku benci ama si brengsek itu?”
“Benci? Maksud kamu bener-bener cinta?”
Tya melotot.
“Eh, kamu mau aku sambit pake sendal yang satu lagi?!”
Norma langsung ngacir sambil cekikikan.
*************************
Dua jam kemudian. Langit di atas udah benar-benar diselimuti bintang-bintang. Udara dingin dataran tinggi mulai menusuk tulang. Suasana perkemahan nampak meriah dengan nyala lampu petromaks di sana-sini.
“Hachiii....!! hachiii....!!”
Tya menggosok hidungnya yang mulai memerah lalu meneruskan membaca komik detektif Conan-nya. Tampak syal tebal melingkari lehernya. Norma yang ada di luar tenda masuk ke dalam dan menghampiri Tya.
“Kamu lagi flu, ya?”
“Nggak tahu. Cuman rasanya dingin banget.”
Norma mengerutkan keningnya. Kemudian dia menempelkan punggung telapak tangannya di kening Tya. Mimiknya langsung berubah.
“Tya kamu panas banget...!”
“Ah, masa sih?”
Norma mengangguk panik.
“Ng... kamu tunggu di sini ya? Aku minta obat penurun panas sama Aber sebentar.”
“Nggak, nggak usah, Ma. Paling sebentar juga panasnya turun. Hachii...!!”
“Tuh kan. Kayaknya kamu harus segera minum obat. Tunggu sebentar.”
Dengan tergesa-gesa Norma berlari ke luar tenda. Tya meraba-raba keningnya sendiri. Tak lama kemudian Norma datang bersama Aber dan Hartono.
“Ini obatnya, Tya. Diminum ya?”
Tya mengangguk.
“Hachii....!! Ma, tolong cariin air mineral aku dong. Tadi aku taruh di sekitar sini.”
“He em.”
Hartono dan Aber ikutan masuk ke dalam tenda yang diterangi lampu petromaks.
“Kata Norma kamu demam...”
Tya mengangguk.
“Tapi nggak apa-apa, sebentar juga sembuh kok. Hachiii....!!”
“Sial, hidung aku tambah mampet nih.”
Aber meraba kening Tya, lalu matanya membelalak.
“Wah ini sih bisa buat ngeringin pakaian basah. Tya demam kamu tinggi bener!”
“Eh, kamu menggigil Tya?” Hartono mulai cemas. Tangan Tya emang mulai bergerak-gerak sendiri.
“Tya, ini air mineralnya udah ketemu.”
Bruukk....!!!
Norma, Hartono dan Aber memandang kaget ke arah Tya yang udah terbaring tak sadarkan diri.
“Tyaaa.....!!” Norma menjerit panik.
*********************
Untunglah sekitar sejam kemudian Tya udah bisa siuman. Namun kondisi fisiknya yang masih sangat lemah memaksanya untuk terus berbaring dalam tenda. Obat penurun panas yang diminumnya belum bereaksi. Di sekitarnya ada Norma, Hartono, Aber dan Bambang. Norma menggenggam jemari Tya erat-erat. Dia nampak mencemaskan keadaan sohib karibnya itu.
“Ma, rasanya dingin banget....,” ucap Tya dengan suara bergetar.
“Kamu harus kuat, Tya....,” sahut Norma lirih.
Mereka semua nampak prihatin.
Pintu tenda tersingkap, dan wajah Doni muncul.
“Ton, acaranya hampir dimulai tuh,” kata Doni.
Hartono mengangguk.
“Norma, Tya, kalian kita tinggal dulu, ya. Aber aku bawa. Aku takut ntar ada anak baru yang juga ngalamin kayak Tya. Soalnya medan hiking-nya rada-rada berat. Lo jaga Tya ya, Ma?”
“Oke, Ton. Sori aku ama Tya nggak bisa ikut.”
“Nggak apa-apa. Jaga Tya, ya?”
Norma mengangguk. Yang lain pun beranjak dari situ, kecuali Tya tentu.
“Apa.... apa acaranya udah mau dimulai, Ma?” tanya Tya lemah.
“Iya, Tya.”
“Sayang ya, kita nggak bisa ikut.”
“Tya...... kamu kan lagi sakit. Udah, jangan banyak pikiran. Mending sekarang kamu tidur, istirahat biar cepet sembuh.”
“Iya, deh,” sahut Tya lirih, lalu memejamkan matanya.
Tak lama kemudian pintu tenda tersingkap. Wajah Doni nongol di situ. Norma keheranan.
“Lho, bukannya kamu ikutan acara, don?”
Doni menggeleng.
“Ng...aku udah izin sama Hartono. Aku mau ikutan jagain Tya. Yah... sekalian temenin Santo jagain perkemahan. Kamu nggak keberatan kan....?”
Norma menatap aneh ke Doni. Doni jadi risih juga diperhatikan gitu.
“Jangan curigaan gitu dong, Ma. Kali ini aku bener-bener serius. Suer. Aku ngerasa bersalah tadi sore udah ngisengin Tya.”
Kening Norma berkerut.
“Masih keberatan?” tanya Doni lagi.
Norma manggut-manggut.
“OK. Kalo gitu masuk deh. Kebetulan!”
Doni pun masuk dan ikut duduk di sisi Tya yang udah terlelap.
“Kamu mau bantuin jaga Tya kan?”
“Iya.....”
“Kalo gitu kita gantian dulu deh. Sebentar kok. Aku mau keluar pipis dulu.”
“OK, bos.”
“Kamu mesti pegang tangannya kayak gini.”
“Ta.. tanganya mesti dipegang terus?”
“Iyalah, biar dia selalu merasa ditemenin. Ayo cepetan, aku udah ga tahan nih!”
“Iya... iya...! bawel banget.”
Doni pun menggantikan posisi Norma.
“Jangan pake lama, ya?!”
“Iya, nggak lama kok,” sahut Norma lalu keluar dari tenda.
“Oahh...!!”
Norma meregangkan tangannya ke atas, lalu tersenyum jahil.
“Hihihi... sekali-sekali tu anak harus dikerjain juga. Sekarang aku mau temenin Santo ah,” batinnya lalu kabur perlahan-lahan.
Sementara itu di dalam tenda, nampak Doni memperhartikan wajah imut Tya. Sedikit pucat, tapi... tetep manis. Tangan kirinya menyapu kening Tya perlahan-lahan.
“cepet sembuh,” bisiknya.
Doni merasa kini genggaman jemari Tya makin erat.
Tya sebenarnya belum benar-benar terlelap. Dia tahu kalau yang bersamanya saat itu Doni. Entah mengapa semua rasa amarah dan kesal yang bertumpuk-tumpuk di hatinya hilang begitu saja. Sejak pertama mendengar suara Doni bercakap-cakap dengan Norma tadi dan merasakan hangatnya genggaman Doni, dia jadi merasa ada rasa yang lain yang menjalar di hatinya. Doni menjadi seperti pahlawan pelindungnya, bukan lagi cowok yang menjengkelkan. Dia belum pernah merasa seperti ini sebelumnya. Tapi... eh, aroma parfum Doni,
“Ini kan mirip wangi parfum lama aku,” batin Tya.
Hihihi... aneh bener, anak cowok pake parfum cewek.
Kening Doni agak berkerut. Dia memperhatikan wajah Tya lebih teliti lagi. Benar.... Tya tersenyum kecil dalam tidurnya. Doni jadi ikut-ikutan tersenyum. Kedua tangannya pun menggenggam lembut jemari Tya. Ada kehangatan yang menjalar sampai di hatinya.
“Tya...,” bisiknya.
“Maaf, karena selama ini aku selalu membuatmu susah. Aku ngelakuin semua ini karena... karena aku nggak tahu harus gimana nyatain rasa suka sama kamu. Aku takut aku nggak bisa memenuhi kriteria cowok idaman kamu. Lihatlah betapa loser-nya aku. Untuk menembak kamu pun aku lakuin saat kamu udah berada di alam mimpi. Aku bisa bohong sama temen-temen, tapi aku nggak bisa bohong sama diri aku sendiri kalau aku bener-bener takut kehilangan kamu.”
Dari pintu tenda yang tersingkap, Doni bisa melihat bulan purnama dan ribuan bintang yang berkilauan di langit sana.
“Izinkan aku.....,”
Doni mengecup dahi Tya perlahan lalu merapikan selimutnya.
“Semoga mimpi kamu seindah langit malam ini.”
***************************
Untunglah mentari pagi muncul juga. Suara burung-burung pagi riuh rendah di pepohonan sekitar perkemahan. Tapi suasana perkemahan nampak masih lengang. Rupanya semua orang masih letih setelah acara pelantikan ala sispala semalam.
Pasti pada penasaran bagaimana kabar Tya sekarang kan? Nggak usah cemas. Tya udah mulai sehat kembali kok. Buktinya sekarang dia sedang duduk di belakang tenda sambil menikmati secangkir teh hangat dan indahnya pagi ini. Wajahnya nampak berseri-seri. Perhatiannya beralih saat Norma dengan wajah kusut merangkak keluar dari tenda.
“Pagi, Norma...”
“Kamu udah baikkan?”
“Mm... lumayan. Mau secangkir teh?”
“Boleh...”
Tya menuang secangkir teh dari tekonya lalu menyodorkannya ke Norma.
“Wajah kamu kusut amat. Semalam bergadang jagain aku ya?”
Norma menyeruput tehnya lalu menyahut.
“Begadang sih iya. Tapi bukan buat jagain kamu. Aku nungguin anak-anak yang ikut kegiatan.”
“Tapi... perasaan semalam kamu terus di samping aku deh.”
Norma tersenyum.
“Itu bukan aku....”
“Bukan kamu...? trus siapa dong?”
“Hehehe... coba tebak!”
Tya berpikir sejenak, padahal sebenarnya dia sudah bisa menduga-duga.
“Ah, udah. Aku beritahu aja. Percaya nggak kalo jagain kamu semalam itu si... Doni?”
“Apaaa.... Doni???”
Tya pura-pura kaget.
“Iya. Ternyata dia itu nggak sejahat kelihatannya kok. Dia itu baik banget. Dia baru ninggalin kamu saat panas kamu udah turun. Itupun udah sekitar pukul tiga subuh tadi. Jadi aku yakin, sekarang mukanya sama kusutnya dengan muka aku.”
“Masa sih...?”
“Trust me baby... jadi kalo kamu ketemu sama dia kamu kudu say thanks sebesar-besarnya.”
Eh.... rupanya yang lagi diomongin udah berdiri di samping mereka, sambil memandangi langit di ufuk timur.
“Pagi ini indah banget, ya? Gimana kabar kamu, Tya?”
“Mm... aku udah baikkan kok.”
Tya heran kenapa jantungnya berdebar-debar. Nada bicara Doni kali ini juga lain dari biasanya.
“Cieee ini mah namanya pucuk dicinya ulam tiba,” celetuk Norma.
“Eh, Don, tumben kamu main ke tenda kita?” katanya lagi.
“Ah.., enggak, aku.... aku cuman mau minta air panas buat nyiram kopi. Pagi-pagi gini kan enaknya ngopi.”
“...mau nyari air panas atau nyari Tya? Aoww!!”
Norma mendadak menjerit karena pahanya dicubit Tya. Tya nampak tersipu malu begitu pula Doni.
“Ng... aku nyari dua-duanya deh kalo nggak keberatan.”
“Oh, enggak, enggak. Malah Tya pasti senang banget tuh. Eh, don, duduk dong. Jangan berdiri aja,” sahut Norma sambil menjauh, takut dicubit lagi sama Tya.
“Kalian aku tinggal dulu, ya. Aku mau ke mata air. Mau nyuci muka sekalian sikat gigi. Byehh.....”
Norma masuk ke dalam tenda dan keluat lewat pintu depan.
Tya dan Doni langsung bengong, bingung mau mulai dari mana pembicaraan itu. Doni menyodorkan cangkir berisi kopi instan ke depan Tya. Tya nggak mengerti.
“Air panasnya ada, enggak?”
“Oh, iya, iya. Sorry. Kok aku jadi bingung gini.”
Tya pun mencedok air panas dari panci besar di depannya dan menuangkannya ke cangkir Doni.
“Thanks....”
“Ah, aku yang seharusnya bilang thanks.”
“Buat....??”
“Semalam aku udah ngerepotin kamu buat jagain aku.”
“Oh, masalah itu. Itu nggak usah dibesar-besarin deh. Sebagai teman sudah sewajarnya kita saling memperhatikan satu sama lain, kan. Aku cuman heran aja. Nggak biasa-biasanya kamu sakit kayak semalam.”
Tya tersenyum.
“Aku kecapean aja kok. Kurang istirahat. Bayangin, kemarin dulu seharian aku ama Norma belanja buat keperluan konsumsi kegiatan kita ini. Malamnya aku begadang nonton liga Itali. Trus kemarin kita nempuh perjalanan jauh ninggalin kota.... energi aku terkuras abis.”
“Liga Itali?”
“Iya. Kenapa? Aneh ya?”
Doni mengangguk.
“Jarang cewek yang suka nonton bola.”
“Aku juga heran, semalam kamu pake parfum cewek.”
Doni terkejut.
“Pa.. parfum aku abis, jadi aku ngerampok parfum kakak aku. Tapi.... kok kamu bisa tahu?”
Tya tersenyum.
“Wanginya sama dengan wangi parfum aku yang dulu.”
“Maksud aku kok kamu masih sempat-sempatnya nyium wangi parfum segala? Semalam waktu aku ke sini kamu kan udah benar-benar tidur lelap.”
Tya tersenyum lagi.
“Itu kan cuma kelihatannya. Padahal yang sebenarnya aku masih bisa merasakan yang terjadi di sekitar aku. Masih bisa mendengar suara Norma waktu pamit sama kamu, masih bisa nyium parfum kamu, juga masih bisa mendengar semua yang kamu katakan setelahnya.”
Duarr....!!! Doni bagai di sambar petir di pagi itu. Wajahnya langsung pucat pasi.
“E.. kamu dengar semua yang aku ucapin?”
“Semuanya....”
“Semuanya....?”
“Semuanya. Aku juga tahu semalam kamu nyium dahi aku...”
Doni benar-benar shock dan jatuh pingsan dengan gemilang. Tya langsung cekikan sendiri.
****************************
Suatu siang di awal bulan, Norma kelihatan asyik shopping di salah satu pusat perbelanjaan. Tangan kanan dan kirinya penuh tentengan. Dia menyusuri deretan toko-toko yang menawarkan aneka produk dengan santai. Tapi dia mendadak berhenti saat matanya menangkap sepasang remaja yang berjalan bergandengan dengan mesranya.
“Itu kan Tya sama Doni.”
Kening Norma mengkerut.
“Apa nggak salah lihat aku?”
Sepasang remaja itu kini mampir di kedai penjual es krim. Norma membuntuti mereka diam-diam lalu berjalan memutar untuk memastikan wajah buruannya.
“Tya....!! Doni...!!”
Norma berseru heboh saat dia melihat dengan jelas siapa yang dikuntitnya. Tya dan Doni terkejut lalu secara refleks melepaskan tangan mereka dan berdiri berjauhan.
“Eh, kamu Norma...”
Keduanya menyapa kikuk. Sementara itu Norma mengangguk-angguk sambil tersenyum jahat memandangi mereka berdua.
“Oh, jadi begini nih yang namanya benci? Untung di sini nggak ada wartawan infotainment. Tapi.... nggak usah khawatir. Biar aku yang kabarin berita besar ini sama teman-teman. Sekarang acara jalan-jalannya dilanjutin lagi deh. Aku nggak bermaksud mengganggu. Udah ya, aku cabut dulu. Bye...”
“Eh, Norma! tunggu....!!!”
Doni dan Tya berlari panik ke arah Norma yang saat itu sudah berjalan menjauhi mereka. Norma pun ikut-ikutan kabur sambil tertawa.
“Eh, mas! Mbak! Es krimnya jadi dipesan nggak?!”
Mas pedagang es krim bengong karena dua pelanggannya tadi udah nggak ada lagi.

☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺by:PikaL☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺☺