Minggu, 07 September 2008
Perjalan Hasan dan Hasim
Kisah ini terjadi di tengah-tengah gurun Arab di timur tengah.
Dua orang sahabat, Hasan dan Hasim sedang melakukan perjalanan menuju ke sebuah kota yang baru pertama kali ini akan mereka kunjungi. Mereka membawa bekal makanan, air dan uang secukupnya untuk perjalanan yang akan memakan waktu kurang lebih dua hari.
Walaupun bersahabat karib, mereka memiliki perbedaan mengenai cara memandang suatu peristiwa. Hasan selalu mampu melihat hikmah di balik sebuah peristiwa paling getir sekalipun. Oleh karena itu hatinya selalu penuh dengan syukur atas apapun yang terjadi dalam hidupnya.
Sementara sifat Hasim kebalikannya. Dia adalah seorang penggerutu dan selalu mengeluh pada setiap masalah yang dihadapinya. Kadang dia merasa hidupnya tidak lebih dari rentetan kemalangan tanpa mau melihat sisi lain dari peristiwa pahit yang dialaminya.
Setelah lelah karena seharian melakukan perjalanan yang panjang, mereka memasang tenda sebagai perlindungan dari dinginnya udara malam gurun pasir. Namun malang, malam itu badai gurun yang dahsyat melewati tenda mereka. Mereka pun berjuang mati-matian mempertahankan perbekalan dan barang-barang mereka agar tidak dibawa badai pasir itu. Jubah, tikar tidur dan tenda mereka berkibar-kibar kencang ditiup badai. Akhinya mereka tidak bisa mempertahankan tenda mereka. Tenda itu terbang disapu badai.
Untunglah badai itu tidak berlangsung lama. Setelah badai berlalu, mereka berdua memastikan barang-barang apa saja yang dapat mereka selamatkan.
“Wah, badainya kencang sekali. Untunglah perbekalan kita tidak ikut dibawa badai,” kata Hasan.
“Ya, tapi lihatlah! Tenda kita sekarang lenyap! Kita pasti kedinginan dan.....Hasan!.... astaga!! peta kita juga lenyap!” seru Hasim sambil merogoh saku jubahnya. “Pasti dibawa badai sialan itu....”
“Haah!! Peta kita hilang!?” Hasan juga terkejut, tapi itu hanya sesaat. “Tapi mau bagaimana lagi? Kita tunggu sampai pagi datang, lalu kita berpatokan ke arah datangnya matahari sebagai kompas. Aku masih ingat kota tujuan kita berada di arah selatan. Tidak usah khawatir. Bersyukurlah kita masih punya perbekalan dan uang. Lagipula alas tidur kita juga masih ada. Lumayanlah untuk mengusir dinginnya malam,” katanya lagi lalu mulai merapikan tikarnya. “Sudah, sekarang tidurlah lagi, masih ada tiga empat jam lagi sebelum fajar.”
“Aah, kamu masih saja bisa bersyukur setelah bencana ini,” gerutu Hasim. Tapi tak urung juga dia lalu ikut berbaring untuk melanjutkan tidurnya yang tertunda.
Keesokan paginya, sejalan dengan munculnya matahari, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Peta mereka yang benar-benar hilang memaksa mereka berjalan berdasarkan arah bayangan yang dibentuk cahaya matahari.
Di sepanjang perjalanan Hasim tidak berhenti mengeluh dan bertanya.
“Kamu yakin arah kita sudah benar?”
dan dengan tenang Hasan menjawab, “Tentu saja tidak. Tapi kita tidak punya pilihan lain. Berdoa saja semoga kita bertemu musafir lain di jalan, biar kita bisa menanyakan arah yang benar.”
Tapi setelah berjalan sekian jauh, tidak seorang pun yang berpapasan dengan mereka di jalan. Malah yang mereka temui adalah seekor singa gurun yang memandang mereka dengan tatapan sangat tak bersahabat dan kelihatannya singa itu juga kelaparan.
Mereka pun berlari menghindari singa itu. Singa itu juga berlari mengejar mereka. Kejar mengejar kemudian terjadi. Tapi beban mereka yang cukup banyak membuat mereka menjadi lambat sehingga semakin lama singa itu semakin mendekati mereka.
“Buang semua bebanmu, Hasim! Simpan saja uangmu...!!” seru Hasan.
“Tapi ini makanan dan persediaan air kita...!!” balas Hasim.
“Biar saja! Dari pada kita yang jadi makanan singa itu! Aku akan melepas bebanku!!” Hasan melepas semua perbekalannya. Mau tak mau Hasan juga ikut melepaskan semua beban-bebannya.
Kini mereka bisa berlari dengan lebih ringan. Dan ternyata singa gurun berhenti mengejar mereka. Hewan itu lebih tertarik dengan air dan aroma makanan yang dijatuhkan Hasan dan Hasim.
Setelah berlari cukup jauh dan singa tadi hilang dari pandangan mereka, Hasan dan Hasim duduk di atas pasir dengan napas tersengal-sengal. Setengah menangis Hasim berkata,
“Lihat! Sebentar lagi kita akan mati kelaparan dan kehausan di tengah gurun ini. Perbekalan kita semua lenyap....”
Lagi-lagi dengan tenang Hasan menjawab.
“Tanpa minuman, kita masih bisa bertahan satu hari ke depan. Masih banyak yang bisa kita lakukan untuk bertahan hidup selama itu. Bersyukurlah karena singa kelaparan tadi tidak sempat mencabik-cabik kita. Lagipula kita masih punya cukup uang kan?”
Hasim mendengus kesal, “Satu lagi. Kita juga semakin kehilangan arah sekarang!” katanya.
“Benar juga ya!” sahut Hasan lirih, “Tapi belum tentu kawan. Lihat! Ada rombongan kafilah di sana.” Hasan menunjuk di arah kejauhan. Benar, ada satu rombongan kafilah kecil yang berjalan beriringan di depan mereka.
“Ayo kita hampiri mereka. Siapa tahu mereka bisa memberi kita pertolongan,” ajak Hasan.
Dia dan Hasim pun berjalan memotong jalur rombongan kafilah itu.
Sesampainya di sana, pemimpin kafilah yang budiman turun dari atas untanya dan bertanya pada mereka.
“Kawan musafir, kalian kelihatannya membutuhkan pertolongan. Apa yang bisa kami lakukan untuk kalian?”
Hasan bersyukur karena bertemu kafilah yang baik. Dia lalu menanyakan arah kota tujuan mereka. Kemudian Hasim menanyakan apa pemimpin rombongan juga bisa berbagi air dengan mereka.
“Hmm.... maaf sekali kawan. Saya sama sekali tidak tahu arah kota yang kalian tanyakan itu. Kami juga belum pernah ke kota itu. Tapi kalau kalian butuh air, kami punya air,” ujar pemimpin kafilah. “Hei, kawan! Ambilkan sekantong air di belakang. Berikan pada kedua kawan kita ini,” seru pemimpin kafilah pada seorang anggota rombongan.
“Dan kalian juga tidak perlu takut kehausan lagi. Sekitar satu kilometer di belakang kami, ada oasis yang dihuni oleh suku-suku barat yang baik hati. Kalian bisa mengisi perbekalan air minum kalian di sana. Siapa tahu ada di antara mereka yang tahu arah kota yang kalian maksud.”
Setelah menerima kantong air dari pemimpin kafilah, Hasan dan Hasim berterimakasih dan berpamitan. Rombongan kafilah pun meneruskan perjalanannnya.
Perkataan pemimpin kafilah tadi benar. Setelah berjalan beberapa saat, Hasan dan Hasim menemukan sebuah perkampungan kecil yang mengitari sebuah oasis. Di sekitar oasis nampak beberapa orang yang sedang menimba air dan memberi minum onta-onta peliharaannya.
“Tuhan masih sayang kepada kita, Hasim. Kita tidak akan mati kehausan. Di sini air melimpah ruah,” tutur Hasan dengan nada gembira.
Orang-orang yang mendiami oasis itu memang juga baik hati. Hasan dan Hasim disambut dengan ramah. Mereka diperbolehkan mengambil air sebanyak yang mereka mau. Seorang ibu tua malah berbaik hati menerima mereka makan siang di pondoknya.
“Kalian beruntung menemukan tempat ini,” kata ibu itu begitu mereka selesai makan. “Tidak banyak peta yang mencantumkan tempat ini. Mm... tapi mengenai kota tujuan kalian itu saya tidak tahu persis. Saya hanya tahu letaknya di arah selatan sana. Cobalah kalian pergi ke bagian selatan perkampungan ini. Di sana ada seorang pedagang bernama Abdul. Dia menjual berbagai macam barang termasuk peta. Siapa tahu dia bisa membantu kalian.”
Hasan dan Hasim mengangguk. Mereka berterimakasih pada ibu itu dan penduduk sekitar lalu bergegas ke tempat yang dikatakan ibu tadi.
Toko pak Abdul terletak agak jauh di luar perkampungan sebelah utara. Dagangannya memang bermacam-macam. Mulai dari tembikar, tepung, permadani, lukisan sampai unta juga dijualnya. Tentu saja peta termasuk salah satu dagangannya. Namun Hasan dan Hasim terkejut begitu mendengar harga segulung peta itu.
“Astaga!! harganya hampir sama dengan jumlah uang kita berdua,” bisik Hasim kepada Hasan sambil memeriksa pundi-pundi uang mereka.
“Cobalah tanya, siapa tahu harganya masih bisa ditawar,” sahut Hasan.
“Ehm...! Tuan Abdul, rasanya harga itu terlalu mahal untuk sebuah peta. Apa tidak bisa lebih murah lagi?” tanya Hasim.
“Oh, maaf sekali tuan Hasan dan Tuan Hasim,” sahut pak Abdul. “Peta ini peta terlengkap yang saya punya yang menunjukkan arah ke kota kalian, lengkap dengan nama desa-desa yang akan kalian lewati, nama penginapan di sepanjang jalan, selain itu.... salinan peta ini juga sudah tidak ada lagi. Peta ini spesial. Jadi yah, harganya juga spesial. Bagaimana? Jadi membelinya atau tidak?”
Akhirnya dengan berat hati, Hasan dan Hasim membeli peta itu lalu beranjak dari situ.
“Sial! Sial! Sekarang giliran uang kita yang lenyap. Sejak awal, perjalanan ini memang sudah penuh dengan kesialan,” gerutu Hasim ketika mereka sudah berjalan meninggalkan perkampungan.
“Tenanglah, Hasim. Setidaknya kita sudah punya peta sekarang. Kita juga sudah punya air,” sahut Hasan. Kedua tangannya mulai membuka lembaran peta itu. “ Dan pak Abdul tadi benar. Peta ini lengkap sekali. Ternyata kita sudah jauh memutar dari jalan yang seharusnya. Tapi peta ini menunjukan jalan yang bisa kita tempuh untuk sampai ke jalan yang seharusnya. Di sini juga ada nama-nama penginapan di sekitar jalan kita nanti.”
“Tapi apa uang kita masih cukup untuk membayar sewa penginapan nanti?” sergah Hasim.
“Mudah-mudahan saja masih cukup,” sahut Hasan.
Hari sudah menjelang malam ketika mereka sampai di penginapan yang tempatnya mereka ketahui dari peta. Saat ini mereka memang butuh makanan, tambahan air dan tempat yang hangat untuk beristirahat.
Penginapan itu bersih dan mewah. Begitu sampai di depan penerima tamu, sudah tercium sedapnya aroma daging panggang dan anggur dari dalam rumah makan penginapan. Hasan dan Hasim sudah tidak sabar untuk check-in.
Tapi kekhawatiran Hasim terbukti. Uang mereka tidak cukup untuk membayar sewa penginapan itu. Bahkan untuk membayar seporsi hidangan penginapan itu, uang mereka juga tidak cukup.
Penerima tamu yang rupanya memahami kesulitan dua orang di depannya itu memberikan saran.
“Sekitar satu jam perjalanan dari sini ada penginapan lain yang lebih murah. Bahkan bila kalian pandai mengambil hati pak Tua yang pemilik penginapan itu, kalian bisa menumpang tidur dengan cuma-cuma,” katanya.
Hasan mengambil petanya untuk melihat lokasi penginapan yang diceritakan si penerima tamu.
“Percuma saja. Penginapan itu terlalu kecil untuk digambar di dalam peta. Kalian ikut saja jalan di depan itu ke arah barat laut. Kalian akan tahu jika sudah menemukannya,” kata si penerima tamu itu lagi. Seorang tamu yang datang kemudian membuat perhatiannya beralih dari Hasan dan Hasim. Kedua kawan kita ini pun keluar dari penginapan dengan mimik kecewa. Tapi seperti biasa, Hasan dapat lebih mudah menerima keadaan itu dibanding Hasim.
“Sudah aku duga sebelumnya. Penginapan itu pasti mahal. Huh! Terpaksa kita berjalan lagi. Padahal perutku sudah keroncongan minta diisi,” keluh Hasim.
“Sudahlah. Uang kita kan tidak cukup untuk membayar penginapan itu. Lebih baik kita pergi ke penginapan yang dikatakan penerima tamu tadi. Cuma satu jam kok, tidak terlalu jauh. Siapa tahu kita beruntung diberi tumpangan cuma-cuma,” sambung Hasan.
Mereka pun mulai menyusuri jalan di depan mereka dengan bersuluh bulan yang tinggal sepotong. Kurang lebih satu jam kemudian sampailah mereka di tempat yang dimaksud. Memang tempat itu tidak susah dicari, karena di sekitar situ sepi sekali. Penginapan itu bangunan satu-satunya yang ada di situ. Dari kejauhan mereka sudah melihat lampu samar-samar dari dalam penginapan.
“Kita sudah sampai, Hasim.”
Mereka sekarang berada di depan penginapan itu. Tapi mereka kini tercengang, kondisi penginapan itu sangat memprihatinkan. Sangat jauh berbeda dengan penginapan yang mereka datangi tadi. Penginapannya nampak tua sekali, bangunannya juga kecil, mungkin lebih cocok di sebut rumah biasa saja.
“Apa ini cocok disebut penginapan?” Hasim mulai menggerutu lagi. “Aku jadi mengerti kenapa penginapan ini bisa memberi tumpangan cuma-cuma. Lihat, bangunannya saja reot begini. Aku berani taruhan, tidak ada tamu lain selain kita malam ini.”
“Tidak apa-apa kan? Yang penting kita dapat tempat menumpang dan makan, itu sudah cukup. Ayo kita masuk.”
Begitu mereka masuk, seorang bapak tua dengan rambut dan janggut yang hampir semuanya memutih menyambut mereka. Bapak itu awalnya terkejut, tapi begitu yakin kedua orang tamunya itu butuh tumpangan, dia langsung menyambut mereka dengan penuh keramahan. Bapak itu juga kelihatan gembira sekali.
Untunglah harga sewa penginapan itu juga murah. Jadi Hasan dan Hasim memutuskan akan menginap di tempat itu.
“Mari aku antar ke kamar kalian. Sudah lama sekali rasanya tempat saya ini tidak di datangi tamu,” kata bapak tua itu.
Kamar yang ditunjukan pak tua untuk mereka tergolong kecil untuk ukuran dua orang. Tapi tetap terlihat bersih terawat. Kelihatannya pak tua itu cukup telaten juga merawat penginapannya yang kecil itu.
“Ayo masuklah. Memang keadaan kamarnya agak usang tapi saya selalu menjaga agar kamar-kamar di penginapan ini selalu bersih dan hangat. Sekarang saya ke dapur dulu untuk menyiapkan makan malam kalian. Selamat beristirahat,” kata pak tua itu lalu dia beranjak keluar kamar itu. Hasan dan Hasim kemudian duduk di atas ranjang mereka masing-masing.
“Ranjangnya masih kuat, kamarnya juga bersih dan hangat. Lumayanlah,” kata Hasan.
“Tapi aku sebenarnya berharap tempat yang lebih nyaman dari ini. Rasanya harga sewa penginapan ini juga terlalu mahal untuk ukuran kamar seperti ini. Lihatlah, kamar rumah kita di desa masih lebih layak,” sambung Hasim.
“Sudahlah, Hasim. Berhentilah mengeluh. Kita harus bersyukur karena sudah bisa mendapatkan makanan dan tempat tidur malam ini. Ehm... saya akan menyusul pak tua itu untuk membantunya. Kelihatannya dia tidak mempunyai karyawan disini.”
“Ah, itu kan sudah kewajibannya sebagai pemilik penginapan ini. Aku lebih baik beristirahat sambil menunggu makan malam siap. Hmm... mudah-mudahan makan malamnya juga bisa mengenyangkan. Jangan-jangan.....”
“Ya sudah,” potong Hasan sebelum Hasim berceloteh panjang lebar lagi. “Kamu silahkan beristirahat. Saya akan ke belakang sekarang.”
Pak tua pemilik penginapan yang sedang membuat adonan tepung di dapur terkejut begitu Hasan masuk ke situ. Dia kembali terkejut mendengar niat baik Hasan yang ingin membantunya. Tentu saja pak tua itu keberatan.
“Ah, tidak usah, nak. Sekarang lebih baik kamu beristirahat saja di depan. Kalian membayar untuk mendapatkan pelayanan di sini. Jadi biarlah sekarang saya yang bekerja. Kalian kan pasti capek dan lapar, jadi bersantailah di depan.”
“Tidak masalah kok, pak. Saya juga suntuk jika hanya bersantai-santai saja. Lebih baik saya disini membantu bapak. Dengan begitu, makan malamnya juga akan tersaji lebih cepat. Iya kan, pak?”
Akhirnya bapak tua itu mengalah. Dia pun membiarkan Hasan membantunya. Selama bekerja mereka mengobrol tentang berbagai hal. Hasan menceritakan pengalamannya bersama Hasim sebelum sampai ke tempat itu. Pak tua juga menceritakan kisah-kisah hidupnya.
Obrolan mereka sampai di meja makan. Di atas meja saat ini sudah tersedia beberapa potong roti, sayuran dan sedikit gulai. Tidak mewah memang, tapi cukuplah buat mengisi perut yang kosong. Sambil menemani Hasan dan Hasim bersantap malam, pak tua itu terus bercerita dan memberikan pandangan-pandangan hidupnya kepada kedua tamunya. Hasan mendengarkan dengan antusias, sementara Hasim kelihatan cuma memaksakan diri mendengar ocehan pak tua itu.
Usai makan malam, pak tua lalu membereskan meja makan mereka dan kembali mengucapkan selamat beristirahat pada kedua tamunya.
Setibanya di dalam kamar, keduanya langsung berbaring di atas ranjang mereka masing-masing. Hasim mulai berceloteh lagi.
“Pak tua itu tadi terus saja berbicara, padahal topik pembicaraannya sangat membosankan. Untung aku masih bisa menghabiskan makan malamku.”
Tapi Hasan sama sekali tidak menanggapinya. Dia hanya mengucapkan salam pada sahabatnya itu. “Selamat malam, kawan. Mimpi yang indah,” katanya.
Di atas sana bulan bertahta semakin tinggi, pertanda malam juga semakin larut.
***********************
Keesokan harinya, Hasan dan Hasim terbangun oleh riuh derap langkah dan ringkikan kuda di depan penginapan. Mereka pun bergegas keluar kamar untuk melihat apa yang terjadi di luar sana.
Ternyata di ruang makan pak tua sudah duduk semeja dengan seorang pria tegap berseragam prajurit istana. Mereka kelihatan akrab sekali. Di depan mereka juga tersedia dua cangkir teh yang masih mengepul. Dari atribut pada seragamnya kelihatan kalau pria di depan pak tua itu seorang perwira tinggi. Di luar penginapan tampak belasan prajurit lainnya dan kuda-kuda mereka.
“Oh kalian sudah bangun?” kata pak tua menyapa mereka. “Ayo, bergabunglah bersama kami. Perkenalkan ini anak angkat saya, Manik. Di luar itu adalah pasukan pimpinannya.”
Hasan dan Hasim agak terkejut. Mereka tidak menyangka pak tua itu punya anak angkat seorang kepala pasukan. Mereka pun ikut duduk dan bersalaman dengan Manik. Pak tua mengambil dua cangkir lain, mengisinya dengan teh panas dari dalam teko dan menyuguhkannya kepada kedua tamunya. Mereka berempat kemudian mengobrol panjang lebar. Kali ini Hasim kelihatan lebih antusias dari semalam.
Hasan dan Hasim akhirnya mengetahui kalau beberapa tahun silam pak tua pernah menolong Manik yang sekarat akibat serangan pemberontak saat sedang mengantar pesan dari ibukota kerajaan. Pak tua berhasil memulihkan keadaan Manik dan sejak saat itu Manik menganggap pak tua sebagai ayahnya sendiri. Pagi itu pasukannya kebetulan melintas dan Manik menyempatkan diri untuk singgah beberapa saat. Ternyata tujuan rombongan pasukan Manik sama dengan kota tujuan Hasan dan Hasim.
“Kedua tamuku ini juga berniat ke kota itu. Bagaimana kalau kalian pergi bersama-sama saja?” tanya pak tua kepada Manik.
“Ya, tentu saja. Kalian bisa menumpang di kereta barang kami. Itu juga lebih aman. Sebenarnya kami diutus ke kota itu karena ada laporan yang masuk ke istana kalau di sekitar kota itu ada gerombolan penyamun yang selalu merampok dan menyerang musafir dan kafilah yang menuju dan keluar dari kota itu. Kami ditugaskan untuk mencari dan menangkap penyamun-penyamun itu. Jadi, saya pikir kalian memang sebaiknya ikut bersama-sama kami,” kata Manik kepada Hasan dan Hasim.
“Kami bersyukur sekali jika memang kami boleh diberi tumpangan. Iya kan, Hasim?”
“Iya. Apalagi kami juga sebelumnya tidak tahu sama sekali kalau di sekitar kota itu keadaanya tidak aman lagi.”
“Baiklah,” sahut Manik. “Sekarang kalian boleh bersiap-siap. Aku dan pasukanku akan berangkat sebentar lagi.”
Setelah berkemas, Hasan dan Hasim membayar uang sewa penginapan pada pak tua tadi. Tapi pak serta merta menolak uang mereka.
“Sudahlah. Uang kalian tidak diterima kali ini,” kata pak tua. “Kalian tamu yang baik hati. Kalian juga membawa keberuntungan tersendiri bagiku. Anak angkatku ini akhirnya bertandang kembali setelah lama kami tak bertemu.”
Manik tersenyum. Hasan tetap mencoba memberikan uang mereka, tapi pak tua itu juga mati-matian menolak uang mereka. Manik juga kemudian berkata kepada Hasan,
“Ambil saja uang kalian kawan. Ayahku ini memang orangnya lemah lembut, tapi untuk urusan begini dia orang yang sangat keras kepala.”
Hasan pun akhirnya mengalah. Mereka lalu berpamitan pada pak tua. Manik dan pak tua berpelukan beberapa saat sebelum mereka bergegas.
Tak lama kemudian, rombongan prajurit istana yang dipimpin Manik bergerak meninggalkan penginapan mungil pak tua. Di atas kereta barang, Hasan menyikut lengan sahabat karibnya sambil tersenyum.
“Kamu tahu tidak?” katanya. “Perjalanan yang kamu bilang penuh kesialan ini sebenarnya rencana Tuhan yang indah untuk kita agar kita bisa sampai di kota itu dengan selamat.”
“Maksud kamu?” tanya Hasim.
“Coba kamu pikir rentetan peristiwa yang kita alami. Seandainya di malam itu kita tidak diserang badai, kita tidak akan sampai di penginapan pak tua itu dan tidak akan mungkin bersama dengan rombongan prajurit ini. Seandainya kita tidak tersesat dan berjalan sesuai rute yang seharusnya, kita mungkin akan ikut jadi korban gerombolan penyamun yang diceritakan Manik tadi. Iya kan?”
Hasim akhirnya mengangguk tanda mengerti.
Hidup ini memang penuh dengan cobaan dan penderitaan. Tapi kalau kita melihat segala sesuatunya dengan hati penuh syukur, kita akan melihat bahwa di sekitar kita masih ada kebaikan dan anugrah untuk kita.
God always works in amazing ways.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar